Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/151

Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

bentuk tulisan. Ia pun tidak menargetkan kapan harus menyelesaikan tulisannya dan kapan pula ia harus mulai menulis suatu karya karena menurut Gus menulis bukanlah sebuah alat untuk mencetak uang.
 Yang menjadi ciri khas dan menarik dari diri Gus tf Sakai bukan karena “t” pada namanya yang harus ditulis dengan huruf kecil, bukan pula karena kepalanya plontos. Akan tetapi, ciri khas dapat kita jumpai pada kemampuan Gus “membelah” diri menjadi dua nama, “Gus tf” dan “Gus tf Sakai”. Orangnya satu, tetapi dengan dua nama yang (dalam dunia sastra Indonesia) sama terkenalnya. Padahal, nama aslinya adalah Ir. Gustrafizal Busra. “Gus tf” adalah nama (pena) untuk karya sastranya berjenis puisi, sedangkan “Gus tf Saka?” adalah nama untuk karya sastra jenis prosa. Kedua nama inilah yang memberi sugesti bagi diri Gus Sehingga ia tidak punya cukup waktu untuk menekuni hal-hal lain selain Sastra. Bagi Gus, waktu 24 jam sepertinya tidak cukup untuk mempertahankan eksistensi kedua nama tersebut.
 Penekanan bahwa menulis bukanlah “pekerjaan” yang ia geluti tercermin dari karya sastra yang telah ia lahirkan sejak dua puluh lima tahun lebih. Ia baru menghasilkan dua belas buku. Namun demikian, Gus berkeyakinan bahwa apa pun profesi tidak mungkin tidak ada penghargaan. Buku yang telah dihasilkan Gus adalah tiga buku kumpulan Puisi, yaitu Sangkar Daging (1997), dan Daging Akar (2005), dan Akar Berpilin (2009). Ia juga menghasilkan tiga kumpulan cerpen, yaitu Istana Ketirisan (1996), Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999), serta Laba-Laba (2003). Selebihnya, sebanyak enam buku, yakni Segi Empat Patah Sisi (novel remaja, 1990), Segi Tiga Lepas Kaki (novel remaja, 1991), Tambo Sebuah Pertemuan (2000), Tiga Cinta, Ibu (2002), dan Ular Keempat (2005). Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Yayasan Lontar. Buku ini Sudah tiga kali meraih penghargaan bergengsi, yaitu Penghargaan Sastra Lontar dari Yayasan Lontar (2001), Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (2002), dan penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand, sebuah penghargaan bergengsi di Asia Tenggara. Buku ini direncanakan menjadi salah satu buku yang diprioritaskan Menjadi bacaan wajib bagi pelajar tingkat sekolah menengah umum.
 Gus tertegun dan tidak percaya ketika mengetahui dan mendapat kabar ia memperoleh SEA Write Award dan menuturkan bahwa rasa tidak percaya itu datang bukan karena kemudaan usianya. Saat mendapati Penghargaan itu Gus genap berumur 39 tahun, tetapi juga karena

139