Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/152

Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

sebenarnya Gus tidak terlalu yakin pada pilihan terhadap apa yang telah ia tulis dalam buku tersebut. Buku Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta dinilai Gus sebagai buku ajaib, sebab buku itu merupakan kumpulan karya pertama Gus yang ditulisnya pada awal tahun 1990-an. Dalam kurun waktu 14 tahun kemudian barulah buku itu diapresiasi. Barangkali, untuk karya semacam itu memang berlaku hal demikian.
 Meski Gus merupakan putra Minangkabau dan banyak menulis dengan latar budaya Minangkabau, laki-laki berkaca mata itu tidak semata-mata mempersoalkan masyarakat etnik Minangkabau dalam seluruh karya sastranya. Gus mampu menyajikan persoalan masyarakat di luarnya. Etnik Minangkabau dalam cerita Gus diposisikan sebagai pandangan orang luar. Oleh karena itu, persoalan masyarakat Indonesia disajikan Gus dengan apik dalam karya sastranya. Ini pun tergambar dalam Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, Gus berhasil melintasi wilayah sosial, budaya, dan geografis Minangkabau. Empat belas cerita pendek dalam buku ini sebagian besar menyajikan problem masyarakat perkotaan: individu dari keluarga sibuk tanpa komunikasi, tidak mampu saling memahami, dan dicekam kesunyian. Gus juga melintasi wilayah gender karena buku antologi itu didominasi oleh kisah dan problem perempuan, wilayah asing yang sering kali sulit untuk diselami oleh penulis laki-laki.
 Harta terpenting dan paling berharga untuk Gus selain keluarganya adalah buku. Gus memiliki kekayaan berupa buku sekitar 3.000 judul yang memenuhi dua kamarnya. Suatu kebanggaan dan sudah menjadi tradisi bagi Gus sekeluarga adalah membeli buku, apalagi ketika Gus selesai menghasilkan sebuah buku.
 Arti penting sastra bagi Gus adalah “melintas”. Sastra dapat mempertemukan manusia yang berlainan suku, agama, ras, dan segala bentuk perbedaan karena kemampuannya dalam melintas itu. Begitu pula, sastra bisa mempertemukan beragam bidang, seperti sains, psikologi, atau filsafat karena kemampuannya dalam melintas. Hanya dengan kemampuan melintas sastra mampu menciptakan sebuah dunia, setiap kali membacanya, kita akan terjun lebih dalam dan semakin jauh terengkuh menelusuri ke dalam, lalu mempertanyakan kembali keberadaan diri kita sebagai manusia. Karya sastra mempunyai pesona yang lahir dari dalam diri karya sastra itu sendiri. Ia bisa membuat dan dibuat sebagai dunianya sendiri. Shakespeare, misalnya, hampir tidak bisa berdampingan dengan karya-karya lain, kecuali dengan sastra.

140