Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/164

Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Puisi "Didaktisme Catur Lima Episode" berhasil keluar sebagai puisi terbaik dari 1642 naskah puisi yang ikut dilombakan pada sayembara penulisan puisi Indonesia pada tahun 1989—1990. Puisi itu menjadi pemenang hadiah pertama penulisan puisi yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Puisi "Didaktisme Catur Lima Episode" membicarakan masalah permainan catur dalam bingkai yang konotatif. Masyarakat yang lemah selalu dikalahkan oleh masyarakat yang kuat. Dalam permainan catur dikatakannya hanya ada istilah memukul dan dipukul. Tidak ada istilah damai dan berbagi rasa. Dengan demikian, kritik sosial dalam puisinya sangat kuat. Hal itu bisa terbaca melalui puisi ini pada episode dua:/ kalkulasi dan strategi mendentang-dentangkan jam catur/menusuk sehabis-habis papan meja dan kursi yang kaget/ menyentuh dinding waktu, "mana kesempatan?" tanyanya/ sang waktu menggoyang tangan/ di papan catur yang diperhitungkan hanya kedudukan/ satu petak satu buah catur, daun menandai akar, dan/ pertarungan tak pernah diucapkan. kenyataan, o/sering membuat bidak tak mampu jalan/—rasa kubawa naik, lewat petak-petak, periksa/kubawa turun, sisi-sisi itu jadi lengkap/petak petak-petak papan catur digariskan, bila bidak maju/tak boleh mundur, sedang para perwira/bebas bergerak ke mana suka/di atas papan catur kusaksikan/hanya jalan dan pukul/sampai habis buah catur//.

Namun demikian, betapa pun busuknya permainan catur dunia ini, menurut Gus tf pada akhirnya semua akan menuju sunyi (mati) untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya selama ini. Ia pun menutup puisi itu dengan kata-kata/kulihat benteng kulihat raja, kulihat menteri kulihat bidak/ kulihat gajah kulihat kuda, tersentak di petak-petak/papan catur yang menentukan partai/di garis permainan akhir, terkait dari/petak-petak yang terangkai rapi; sampai jua/kulihat benteng kulihat raja/kulihat bidak kulihat menteri/kulihat gajah kulihat kuda/beriring menuju sepi/tinggal petak-petak/semakin berjarak//.

MENUNGGU

barangkali stasiun memang ingin mengenalku, ketika kami mengamati kau datang dan pergi, lalu datang lagi dan menggelosohkan
diri di peron ini, barangkali stasiun tertarik kepadaku, ketika aku


152