Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/172

Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


 SEPS dimulai dengan prolog tentang peristiwa banjir bandang Gunung Merapi, 30 April 1979 dan memaparkan cerita tentang Lenggani (Nini), Nono Lenggano (Gaga), Garna, Dodi, Papa Hendri, dan Mama Lala. Novel ini membahas realitas konkret seakan-akan dihadapkan kepada pembaca dan SEPS menghubungkan ceritanya dengan peristiwa nyata. Fakta dan peristiwa nyata serta tempat kejadian seakan mengukuhkan pengkonkretan cerita. Oleh karena itu, tidak mungkin pembaca novel ini akan mengatakan hal itu adalah kejadian yang tidak sebenarnya. Hubungan realitas konkret dan realitas imajinatif dijalin dengan sebegitu rupa sehingga SEPS seakan-akan adalah peristiwa bukan imajinatif. Pengarang (Gus) berusaha untuk menghilangkan batas atau garis pemisah antara fiksi dan nonfiksi. Para tokoh serta jalinan ceritanya adalah fiksi, sedangkan galodo Gunung Merapi tanggal 30 April 1979, bencana meluapnya Batang Kuranji 1966, longsor Bukit Tui Mei 1987, kampus Unand, dan sebagainya adalah realitas yang nyata atau konkret.
 Bencana Bukit Tui bulan Mei 1987 adalah realitas konkret, tetapi Gaga berada di Bukit Tui pada peristiwa Galodo Mei 1987 bukan merupakan realitas konkret, tetapi realitas imajinatif. Realitas konkret telah berubah dan ditransformasikan menjadi realitas imajinasi. Oleh sebab itu, pengarang/SEPS itu sendiri tidak melakukan manipulasi.
 Hal itu terlihat dari awal atau lembaran pertama buku SEPS ini yang menyatakan bahwa SEPS adalah fiksi, tetapi fiksi tersebut disajikan seolah-olah nonfiksi. Keterangan di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa pembaca novel fiksi tidak dibohongi sebab sudah dijelaskan sebelumnya.
 Novel SEPS menggunakan gaya perulangan untuk bagian-bagian yang dianggap perlu untuk ditekankan yang menurut pandangan pengarang membawa misi, amanat, solusi, dan nasihat. Bagian-bagian yang diulang itu antara lain: nasihat mama Lala (SEPS:11, 55, 134), pendapat papa Hendri tentang fiksi (SEPS:2, 4, 26), dan lain-lain. SEPS juga menggunakan gaya yang sama dengan gaya surat-menyurat sebagaimana bisa kita temukan pada karya Hamka, seperti Di bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Novel-novel tersebut pada masa mereka telah melahirkan teknik baru, yaitu alur sorot balik. SEPS tidak berbeda dengan yang telah digariskan oleh pendahulunya. SEPS juga menyodorkan pembaca dengan filsafat kehidupan: bagaimana memandang kehidupan dan setiap persoalan serta tentang arti sebuah persahabatan (SEPS:50). Bab penutup buku ini juga

160