Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/179

Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


selama ini dialami oleh ibu kembali menimpa Santi. Ayah menguras semua uang peninggalan ibu yang dimilikinya. Ketiadaan uang mengakibatkan ia harus berhutang demi melanjutkan usaha dagang yang telah dirintis oleh ibunya. Tempat curahan hati Santi hanyalah buku hariannya. Pengalaman pahit yang mengakibatkan Santi tumbuh menjadi gadis yang pesimis, tidak ceria, dan selalu murung. Keadaan itu menyebabkan hilangnya rasa percaya diri Santi. Ini menjadi beban yang berat bagi Santi ketika ia mengikuti wawancara dalam penerimaan tes pegawai. Dengan kegamangan dan rendahnya rasa percaya diri, Santi mengurungkan niatnya mengikuti wawancara tersebut. Harapannya untuk memperoleh pekerjaan sima sudah. Pupusnya harapan tersebut merupakan penderitaan lain yang harus ditanggung oleh Santi.
 “Susi yang Sunyi” merupakan cerpen yang mengisahkan seorang anak yang merasa kesepian karena orang tuanya sering tidak berada di rumah. Keadaan ini membuatnya selalu mengurung din di rumah. Satu-satunya sahabat Susi adalah topi yang tersangkut pada salah satu dinding kamarnya. Jika dalam cerpen Santi tokoh utama cerita selalu berbagi cerita dengan buku hariannya, tokoh Susi dalam cerpen ini menempatkan topi jerami sebagai teman berdialog. Ketergantungan Susi terhadap topi jerami jelas tergambar ketika suatu hari topi jerami tidak berada lagi di tempatnya. Susi berusaha mencarinya. Bahkan, ia, yang selama ini hanya berkurung diri di dalam kamar sangat membenci keramian dan jalan raya, akhirnya menempuh jalan raya tersebut dengan harapan dapat bertemu kembali dengan si topi jerami. Pada akhir cerita Susi digambarkan sebagai orang tua gila yang dipanggil dengan sebutan “Nek Gila” oleh anak-anak. Penderitaan ini ditanggung oleh Susi sampai akhir hayatnya.
 Adakalanya tangis dapat menjadi ungkapan kebahagiaan, namun pada umumnya tangis merupakan simbol kesedihan dan penderitaan. Hal itu tergambar dari “lirih tangis” dalam cerpen “Lukisan Tua, Kota Lama” dan “Lirih Tangis Setiap Senja” yang menghadirkan perempuan sebagai tokoh utamanya, seorang perempuan yang keluar dari sebuah lukisan.
 “Perempuan dalam bingkai, bingkainya bergerak, mulanya mengerjap-ngerjapkan mata, lalu menghirup udara. Begitu pelan. Begitu lama. Dan akhirnya: ia sibakkan gaun, diangkatnya lutut, melangkah turun dari lukisan.”
 Cerpen ini bercerita tentang perempuan yang menjadi korban

167