Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/180

Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


perkosaan. Ia berusaha untuk lari dan melawan, namun apalah daya seorang perempuan yang ingin melepaskan diri dari empat orang laki-laki yang mempermainkannya dan memperkosanya secara bergiliran. Usahanya untuk mencoba meloloskan diri menjadi suatu permainan yang mengasyikkan bagi keempat laki-laki tersebut. Penderitaan perempuan tersebut begitu nyata disuguhkan Gus dalam cerpennya ini.
 “Perempuan, tangannya ke belakang, terikat. Mulutnya diplester, melenguh-lenguh menendang-nendang”. “Tak lagi punya ia tenaga. Saat terkaman berikut menyergapnya, lututnya goyah untuk kembali tegak. “Tak lagi ia punya harapan. Bahkan saat plester itu direnggutkan dari mulutnya, suaranya telah jatuh ke kerongkongan. Antara sadar dan tidak, ia diseret ke gedung tua. Berkali-kali ia pingsan, tapi ketika ia sadar, ia masih juga ditindih, digigit-gigit, dilipat-lipat”.
 Cerpen kelima dalam antologi ini adalah “Permintaan Sasa” yang juga menghadirkan sosok perempuan sebagai tokoh utama cerita. Cerpen ini menghadirkan tiga perempuan dari tiga generasi. Laki-laki hanya diwakili oleh satu orang tokoh bemama Dio, seorang anak yang duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Kehadiran tokoh Ayah (Sasa) juga disebut, namun tidak dihadirkan dengan lengkap. Hanya berupa gambaran scorang lelaki yang sukses dalam pengembangan bioteknologi, sehingga ia terlalu sibuk. Setiap hari ia selalu menghadiri seminar baik dalam negeri maupun Juar negri.
 Cerpen ini mengungkapkan tentang pertentangan antargenerasi. Pertama, generasi tua yang masih percaya pada mistik dan takhayul (Nenek Sasa). Kedua, generasi yang lebih modern, tinggal di kota sehingga sudah mengabaikan masalah yang bersifat mistik tersebut (Ibu Sasa). Disebabkan kesibukkan dirinya, Leha (Ibu Sasa) mendatangkan ibunya (Nenek Sasa) untuk mengawasi anak-anaknya. Di luar dugaan. sang nenek “membuai” cucunya dengan takhayul dan mistik yang masih dipercayainya. Salah satunya adalah kicauan burung murai di siang hari sebagai pertanda ada orang dekat yang akan meninggal dunia.
 Cerita sang nenek menimbulkan keinginan Sasa untuk dapat menyaksikan dan mendengarkan kicauan burung murai tersebut sekaligus mendengarkan berita kematian dari orang yang dekat dengan mereka, Suatu keinginan dari seorang anak itu masih dianggap wajar. Untuk memenuhi permintaan Sasa tersebut, mereka harus kembali ke kampung. Jakarta yang menjadi latar cerpen ini sudah dipenuhi dengan bangunan sehingga tidak ditemukan lagu nyanyian murai yang berkicau

168