Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/188

Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Junus. Ahli teori sastra yang lahir di Silungkang, Sumatera Barat yang memutuskan menetap di Malaysia tersebut memberi kata pengantar dalam novel itu dengan judul “Membawa Diri ke Dunia Lampau: Mengantar Tambo Gus tf Sakai”. Pengarang buku Dongeng Tentang Cerita, Mitos dan Komunikasi, dan Resepsi Sastra itu menyatakan bahwa “dunia lampau adalah dunia masa lalu yang hanya mungkin diziarahi melalui ingatan yang kita gali dari ingatan. Untuk masa sebelum kita lahir, apalagi jauh sebelumnya, atau dari tempat lain, kita meminjam ingatan orang. Kita membentuk ingatan berdasarkan berita yang diceritakan, cerita yang diberitakan, kata kabar yang diminangkan menjadi kaba”.
 Rido sebagai “aku Sutan” dalam novel Tambo mencari tukang kaba untuk mengkabakan Kaba Bundo Kanduang sehingga ingatan aku Sutan melayang kepada ibu kandungnya. Hal itu membawanya kepada Bundo Kanduang, ibunya pun menjelma menjadi Bundo Kanduang, sedangkan aku Sutan jadi “Sutan Balun”, tokoh dunia lampau. Ia gerakkan dunia lampau bersama tokoh dunia lampau lainnya. Umar Junus memberikan sedikit penekanan pada novel ini bahwa sepanjang pengetahuan dan ingatannya, ia menyatakan sebagai berikut. “Tidak pernah ada Kaba Bundo Kanduang. Bundo Kanduang biasanya hanya dihadirkan pada Kaba Cindua Mato, tidak dalam tambo. Dengan menghadirkan Kaba Bundo Kanduang dengan cerita sejarah (tambo: tentang Iskandar Zulkarnain, Sutan Balun, dan Majapahit), Gus Sakai “sengaja” mencampurkan beberapa “sumber sejarah”. Pertama, Tambo yang mengasalkan Raja-raja Pagaruyung kepada Iskandar dan cerita tentang Sutan Balun serta cerita mengenai adu kerbau antara kerajaan Minang dan Majapahit. Kedua, peninggalan sejarah, yaitu berupa arca Adityawarman. Ketiga, Kaba Cindua Mato, meskipun Gus hanya menghadirkan Bundo Kanduang. Gus baru menyebut Kaba Cindua Mato pada bab “Alangkah Banyaknya Diriku”, di mana pada waktu yang bersamaan ia menolak apa yang ia katakan sebelumnya, sehingga masa lampau pada Tambo jadi “kacau”.
 “Ini dimungkinkan dan disebabkan oleh cara kita mengingat masa dan dunia lampau karena ingatan tentang dunia lampau tidak pernah objektif. Bercerita/cerita tentangnya tak pernah bebas dari campur tangan penerjemah oleh pencerita/pemberita. Seorang pencerita/pemberita baru bisa memindahkan suatu peristiwa kepada berita/cerita setelah menerjemahkannya (ke dalam wacana yang menerjemahkan peristiwa

176