Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/190

Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

ada dalam dunia khayal, bukan dalam realitas. Ini diterangkan Gus pada “Serpihan 7” dan Lini yang “saya” adalah seorang perempuan, berbeda jenis kelamin dari “aku Sutan” yang laki-laki. Lini juga lain dari Elin yang “saya” pada “Serpihan 3”, Melalui pengalaman buruk kini “saya Lini” seolah-olah diciptakan akibat adanya kelemahan sistem yang sebelumnya diidealisir oleh “aku Sutan”. Hal itu dilakukan oleh Gus dengan menolak apa yang selama ini dianggap konvensional novel, menandai genre novel sehingga ada yang mempertanyakan kenovelan Tambo.
 “Ketakpuasan terhadap dunia kini menyebabkan “aku” mengembara ke dunia lampau dan mengidealisirnya. Ia lari ke dunia lampau karena kekaburan sejarah lampau yang tak punya tahun. Oleh karena itu dicantumkannya tahun kepada peristiwa sejarah yang diceritakannya. Tapi ini tidak menyelesaikan karena bagaimanapun bagusnya dunia lampau, ia tetap tidak akan bisa merubah dunia kini. Dengan demikian, Gus membawa kita menghidupi realitas kini, bertindak sesuai dengan realitas kini, bukan menghidupi dan hidup dalam “keindahan dunia lampau yang diimpikan”.
 “Untuk melaksanakan permainan realitas dan impian dalam novel ini, Gus bercerita dengan “aku” dan “saya” yang tak mengharuskannya menamakan pelakunya. Hanya ketelitian kita membaca yang memungkinkan kita tahu “aku” adalah Rido, dan “saya” adalah Lini atau Elin. Hal itu dimungkinkan karena bahasa kita memang mengenal kedua kata ganti itu dan Gus telah berhasil meng-eksploitasi-kan kemungkinan yang disediakan oleh bahasa kita.
 “Ada lagi “konvensi” novel yang dilanggar oleh Gus adalah novel yang biasa dikaitkan dengan cerita, bercerita tentang sesuatu. Ada bagian Tambo yang lebih terasa sebagai esai ... atau laporan sejarah yang bisa dikategorikan sebagai berita ketimbang cerita. Dan ini dimungkinkan oleh hakikat tidak adanya perbedaan antara berita dan cerita. Apalah bedanya antara bercerita dan berberita yang disarankan juga oleh kata kaba dalam budaya Minang. Ia bisa dianggap sama dengan kabar yang tak berhubungan dengan satu genre sastra. Tapi ia juga bisa dianggap suatu istilah yang merujuk suatu genre sastra. Dan Gus dalam Tambo Sebuah Pertemuan bisa dikatakan berkaba dan berkabar.
 “Usaha Gus sesuai dengan hakikat perkembangan novel, yang lebih berupa suatu novelty, sesuatu yang baru dan selalu memperbarui diri. Hanya dalam perkembangan kajian sastra orang mencoba merumuskan

178