Halaman ini tervalidasi
Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat
hukumnya karena orang lebih bicara tentang genre sastra, bukan tentang kekuatan yang menggerakkan novel dan kehidupan sastra.
<td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:
- CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]]Dalam pengantar buku novel Tambo Sebuah Pertemuan, ia menyatakan kesediaannya menerima catatan kaki yang dicantumkan Gus dalam novelnya karena Umar Junus berpendapat dengan adanya catatan kaki itu tak menghalanginya untuk menilai kualitas novel yang dilahirkan oleh sastrawan muda ini.
<td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:
- CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]]Umar Junus memaparkan bahwa catatan kaki Tambo digunakan Gus untuk menerangkan sesuatu atau untuk memperjelas pada khalayak pembaca. “Catatan kaki lebih berfungsi untuk memperjelas dan ini bisa disinonimkan dengan hakikat diri Gus. Ini bisa kita temui ketika Gus mengutarakan pandangannya tentang sejarah Minangkabau dalam Tambo Sebuah Pertemuan (pada bagian awal novel ini). Gus berusaha untuk menjelaskan bagaimana sistem adat Minang terbentuk dan ini dilakukannya sebagai usaha menentang kritik orang. Baru pada akhir novel ini ia menyangsikan/meragukan hakikat ini. Ia tolak hakikat penceritaannya sebagai sejarah. Ia hanya bicara tentang tambo sesuai dengan sajak Rusli Marzuki Saria “Beri Aku Tambo Jangan Sejarah”. Ini membawa kita berpikir setelah kita menuntaskan membaca buku
novel Gus, Tambo Sebuah Pertemuan."
<td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:
- CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]]Gus tf Sakai adalah salah satu dari pengarang yang mau dan mampu melintasi wilayah sosial, budaya, dan etnik dari negerinya yang jauh. Ia telah menghasilkan karyanya dengan menguraikan berbagai macam tradisi ctnik yang ada di dalam masyarakat Indonesia sehingga pada karya sastranya kita dapat menjumpai dialog antaretnik. Hal itu menjadi sesuatu yang amat jarang/langka kita temui. Opini ini diungkapkan oleh Ivan Adila, salah seorang kritikus sastra Sumatra Barat. Melalui beberapa cerpen yang terdapat dalam bukunya Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, Gus mampu melintasi wilayah gender karena karyanya ini di dominasi oleh kisah dan problem perempuan, sebuah wilayah yang sering kali sulit diselami oleh penulis laki-laki. Masyarakat dalam buku kumpulan cerpen ini adalah kumpulan manusia terasing yang kelelahan dalam tumpukan tugas sehingga tak memiliki kesempatan berdialog dengan teman seatap: anak, isteri, orang tua, apalagi orang sekitarnya.
<td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:
- CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]]Antologi cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta adalah contoh terbaik bagaimana Gus tf Sakai behasil menggubah imajinasi liar secara memikat, dengan teknik penceritaan menarik dan bahasa yang
179