Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/72

Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Melalui novel ini, Chairul Harun pun seakan mencemooh masyarakatnya sendiri, masyarakat Minangkabau, yang selalu meretorikakan bahwa mereka tunduk dan patuh kepada adat yang berlandaskan kepada hukum Islam “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Padahal, mereka sering kali hidup di luar aturan adat dan hukum Islam. Seorang laki-laki berstatus bujangan, seperti tokoh Rafilus telah melakukan berkali-kali hubungan terlarang dengan berbagai perempuan. Seorang perempuan berstatus gadis seperti tokoh Amtti telah pula berbuat zina dengan teman sesama kuliahnya di kota. Seorang mamak, seperti Angku Pekok merasa bangga atas status jarda berkali-kali yang dialami kemenakannya dan maklum pula atas perilaku cabul yang diperbuatnya. Tokoh bijak, seperti Bagindo Tahar pun tidak luput dari kritik, ia mengenyampingkan anak-anak kandungnya. Baginya, kepentingan menjaga kebesaran nama kebangsawanan adalah hal yang penting. Ia memilih tetap tinggal bersama dua kerabat terdekatnya, yakni adik perempuan dan kemenakannya yang sudah terganggu ingatan mereka akibat penyakit kulit yang tidak tersembuhkan.

Simpulan

Chairul Harun tidak hendak “menapik air di dulang yang akan memerciki mukanya sendiri” dalam memandang adat yang berlaku di tengah masyarakatnya, tetapi ia menyindir praktik-praktik sumbang yang dibakukan oleh segelintir orang atas nama adat. Hal itu dimaksudkan Chairul agar masyarakat berusaha meluruskannya kembali.

Demikianlah, Chairul Harun. Ja memandang masyarakat dan kebudayaannya dengan caranya sendiri. Ia menyindir dan mencemooh sebagai sikap kritis terhadap Jingkungan yang dicintainya. Ia mencintai Yengan upaya memperbaiki dan senantiasa menjaga nilai-nilai luhur yang terdapat dalam adat-istiadat Minangkabau, negeri yang telah melahirkan, membesarkan, dan menerimanya sebagai tempat kembali kepada Sang Pencipta.

60