Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/130

Halaman ini tervalidasi

"Kalau siang begini, dia belajar dengan Pitoha, anak Pak Lurah itu. Kalau malam, saat Kau melaut, dia belajar sendiri mengulang pelajaran baru yang didapatnya dari Pitoha," jelas wanita tua itu.

Persoalan yang tadi gelap kini sudah mulai agak terang di benak Sababalat. Ia ingin menyimpulkan, namun tak berani. Tak berani mendahului kesimpulan ibunya, juga tak berani menghadapi kenyataan jika apa yang ia simpulkan itu ternyata benar.

"Sepertinya anakmu itu sangat ingin bersekolah seperti teman-temannya yang lain." Akhirnya Ina Bani memberi kesimpulan serta titik terang dari praduganya tadi.

Sababalat menghela nafas panjang. Ia melanjutkan gerakan teratur tangannya dari piring ke mulut, lalu mengunyahnya dengan gigi gemerutuk. Gulai kacang panjang buatan Ina Bani yang tadinya menaikkan selera makan, seketika berubah jadi pahit tak terkira, sehabis mendengar kesimpulan ibunya. Setelah menyuap nasi, diteguknya air untuk mendorong nasi itu hingga cepat masuk ke perutnya.

Apa yang disimpulkan oleh otaknya sesaat sebelum ibunya memberitahu hal itu, ternyata benar. Ya, anaknya ingin mengenyam bangku pendidikan seperti teman-temannya yang mungkin sekarang telah tiga atau empat tahun duduk manis dengan seragam bersih.

Tapi, apa mau dikata? Ia tak punya cukup uang untuk membayar semua tetek bengek yang diwajibkan oleh satu-satunya sekolah yang ada di kampungnya. Gayanya saja di televisi biaya sekolah gratis. Uang sekolah memang gratis, tapi harga buku tambah melangit. Harga ini-itunya menjepit. Ujung-ujungnya sama saja dengan membayar uang sekolah, bahkan tambah parah!

Hati Sababalat perih tak terkira. Ia benar-benar merasa telah gagal menjadi seorang ayah. Ia merasa tak berguna dan tak pandai menjalankan amanat mendiang istrinya

118