Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/131

Halaman ini tervalidasi

untuk menjaga Saogo sepeninggalnya.

"Kenapa Kau jadi diam begitu? Adakah Kau dengar aku bicara?" Tanya Ina Bani. Lamunan dan perasaan tak menentu Sababalat pecah. Ia tergagap.

"I... i... iya, Ina! Aku dengar," jawabnya sambil memasukkan sesuap nasi terakhir ke mulutnya, lalu segera mencuci tangan di piring itu. "Aku janji, Na, aku akan lebih giat lagi bekerja, biar tahun depan aku dapat menyekolahkan Saogo."

"Nah, itu yang ingin kudengar keluar dari mulutmu sejak tadi. Kasihan betul aku melihat anakmu itu. Keinginannya untuk sekolah sangat tinggi. Kemarin dia katakan padaku bahwa kalau sudah besar nanti dia mau jadi pengarang hebat. Anak Kau itu punya otak pintar. Sayang sekali kalau harus patah karena tidak punya biaya sekolah. Mmm, Kau pasti juga belum tahu kalau anak Kau sekarang sudah lancar membaca dan menulis sejak berguru pada Pitoha. Dia rajin membaca, apa saja! Koran bekas bungkus kacang rebus tuntas dibacanya sekali duduk. Itu lihat dinding belakang, sudah penuh dengan tulisannya pakai arang."

Sababalat hanya diam mendengar perkataan Ina Bani. Ibunya benar! Paling tidak tamat Sekolah Dasar macam dirinya dulu pun sudah jadi. Bagaimanapun caranya, Saogo harus bisa mengenyam bangku pendidikan. Bagaimanapun caranya! Harus!

Sababalat melangkah ke luar rumah. Dilihatnya tangga bambu berdiri vertikal, bersandar ke teras atas. Didakinya anak tangga itu. Jangan berpikir rumah Sababalat berlantai dua, Sobat! Bukan! Rumahnya bahkan lebih buruk dari rumah pelaut lainnya yang ada di kampung itu. Sababalat tak punya banyak uang untuk membeli atap seng untuk seluruh rumahnya. Jadilah, ia beri rumahnya atap dua pertiga saja dari belakang ke tengah. Sementara bagian depannya yang tak diberi atap seng dibuat seperti beranda rumah. Di sanalah sekarang Saogo belajar dengan Pitoha,

119