Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/132

Halaman ini tervalidasi

menghadap ke jalan tepi pantai.

Kakinya memang belum menginjak teras atas, namun matanya sudah bisa menangkap sosok kurus putranya yang menangkup seperti patung Malin Kundang, meski keningnya tak sampai beradu lantai. Ia paham, anaknya sedang menulis. Sementara gadis cilik di samping Saogo menunjuk-nunjuk pada kertas yang Saogo tulis sambil menggumamkan sesuatu, entah apa!

Sababalat tak melanjutkan langkahnya untuk mendekati Saogo. Ia segera menuruni anak tangga. Matanya mengerjap-ngerjap.

‘Kau harus bisa sekolah, Nak!' Teriak batin Sababalat.

***

“Saogo, turunlah sebentar!” Teriak Sababalat dari halaman rumah di suatu sore, sebelum berangkat melaut.

Saogo melongohkan tubuhnya, melihat ke bawah. Dilihatnya sang ayah melambaikan tangan.

“Ada apa, Ukui[1]? Aku sedang belajar!” Tolaknya. Ia tidak ingin kehilangan sedetik pun waktunya untuk menuntut ilmu dari Pitoha. Karena Pitoha hanya bisa mengajarnya sepulang sekolah sekitar jam dua siang sampai jam enam petang. Kalau malam menjelang, Pitoha harus segera pulang, sebelum Pak Lurah sendiri yang menjemput putrinya dengan tampang garang.

“Hanya sebentar! Ukui punya sesuatu untukmu. Turunlah sebentar!” Jawab ayahnya lagi dengan senyum mengambang.

“Aku sedang belajar pada Pitoha, Ukui. Titip sama sinanalep[2] saja!” Teriaknya lagi.

“Turunlah sebentar,” ujar Pitoha.

120

  1. Ayah, bahasa Mentawai
  2. Nenek