Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/133

Halaman ini tervalidasi

“Tidak! Aku mau belajar. Kalau aku turun, nanti kau malah pulang. Dengan siapa lagi aku bisa belajar?”

“Oh, tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu. Percayalah!”

“Janji?” Pinta Saogo sambil menegakkan kelingking kecilnya.

“Janji?” senyum Pitoha mengambang sambil mengait kelingking Saogo dengan kelingkingnya.

“Tapi aku masih takut Kau tinggalkan. Maukah Kau ikut denganku turun ke bawah?” Pinta Saogo.

“Baiklah!” Pitoha tersenyum padanya.

Setibanya di dalam rumah, “Ada apa, Ukui?” Tanya Saogo.

“Ukui punya hadiah untukmu,” jawab Sababalat sambil melangkah masuk ke kamar, lalu kembali dengan sesuatu berbentuk persegi panjang, dibungkus dengan kertas koran.

“Mengapa Ukui tiba-tiba memberiku hadiah? Apakah aku berulang tahun sekarang?” Saogo menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Dahinya mengernyit seperti memikirkan sesuatu.

Ayahnya menggeleng, lalu berkata, “Kau memang tak berulang tahun sekarang. Tapi sekarang ini peringatan 'Hari Anak'. Jadi setiap orang tua memberikan hadiah untuk anaknya,” jawab Sababalat mengada-ada. Teringat olehnya ketika zaman sekolah dulu banyak macam hari libur karena memperingati hari ini dan itu.

Kini giliran Pitoha yang mengernyitkan dahi. Matanya menerawang mencoba mengingat-ingat pelajaran di sekolah. “Bajak[1]..., setahuku tak pernah ada 'Hari Anak'. Yang ada 'Hari Ibu', 'Hari Sumpah Pemuda', 'Hari Kartini' dan ......"

“Hari Anak ini tidak banyak yang tahu. Hanya seorang ukui yang sayang pada anaknya yang merayakannya,”

121

  1. Paman