Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/137

Halaman ini tervalidasi

Aku sayang ukui, Sinanalep, dan Pitoha.

Ketika membaca kembali tulisan itu, Saogo menggeleng-geleng. Pena itu kembali ditekannya untuk mengukir tanda panah sesudah kata 'ukui', saat terkenang pada mendiang ibunya. Lalu dibubuhinya satu kata lagi,

Ina

Senyumnya kembali mengambang. Selanjutnya menerawang kembali. Agaknya ia tengah berpikir keras nama siapa lagi yang akan diukirnya dan mendapat predikat sebagai orang yang dicintainya.

Tiba-tiba tubuhnya didorong sesuatu hingga terpental tak jauh dari tempat duduknya semula. la berusaha untuk bangkit, namun kembali didorong. Ia menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang mendorongnya sekeras itu. Namun tak seorang pun di teras atas kecuali dia.

Tetangganya berhamburan ke luar rumah. Mereka berteriak," Gempa... gempa... gempa...."

Saogo berniat turun dari teras atas, namun lampu telah padam seketika. Dipeluknya erat-erat meja belajar dari ayahnya. Dalam kelam ia terus meraba-raba hingga sampai pada tempat pertama kali ia naik. Namun tangga bambu itu juga telah jatuh. Kini ia benar-benar tidak bisa turun lagi. Bocah kecil itu duduk tempat ia tadi menulis. Meja tulis itu didekapnya erat-erat sambil meraung-raung memanggil ayahnya. Namun raungannya kalah dengan ratusan anak yang serentak memekik-menangis di tempo yang sama.

Beberapa saat kemudian, air menghantam perkampungannya, menghanyutkan orang kampungnya, meluluh-lantakkan semua. Tubuh kurus-masai Saogo pun

terseret arus. Entah rencana apa yang ada dalam otak bocah itu untuk menyelamatkan dirinya. Tapi yang jelas, ia tak mau berpisah dengan meja pemberian ayahnya. Maka dipegang-eratnyalah meja itu. Meja itu terapung, Saogo pun ikut serta. Meja belajar yang terbuat dari cinta seketika berubah menjadi perahu yang menyelamatkan orang yang dicinta

125