Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/138

Halaman ini tervalidasi

oleh pembuatnya. Meski perahu itu tentu tak seperti bahtera Nabi Nuh yang dapat menampung umatnya, tapi paling tidak perahu Saogo dapat membawa tubuh kurusnya ikut mengapung bersama kayu dan benen di bawahnya.

***

Tenda-tenda pengungsian digelar. Dari berbagai sudut berdiri rumah kain bertuliskan: POSKO BENCANA GEMPA & TSUNAMI MENTAWAI. Manusia berhati peka berdatangan untuk ikut merasakan-paling tidak-secuil duka yang dirasakan oleh korban dan gempa dan tsunami di Mentawai. Mahasiswa-mahasiswa juga tak kalah mulia hatinya. Mereka menggelar sekolah-sekolah darurat untuk anak-anak korban amukkan alam. Namanya saja sekolah darurat, tentu fasilitasnya usahlah Sobat tanyakan!

Satu di antara mereka yang berada di kelas itu adalah Saogo. Ia tampak antusias mengikuti pelajaran. Tangisan menyayat hati yang dua minggu pertama ia berada di pengungsiaan kini sudah tidak terdengar lagi. Entah karena ia sudah bosan menangis, entah sudah bisa menerima kenyataan kehilangan seluruh orang yang dicintanya, atau mungkin persedian air matanya yang telah terkuras habis hingga benar-benar telah kering! Entahlah! Yang jelas, ia sudah tak menangis lagi. Di kelas darurat, setiap saat ia menunjuk tangan entah itu untuk bertanya atau menjawab pertanyaan.

Ketika menulis pelajaran, semua menangkup seperti patung Malin Kundang, kecuali Saogo. Punggungnya tetap lurus karena menulis di atas meja belajar yang diberikan oleh sang ayah di saat peringatan 'Hari Anak'. Ia tersenyum bangga memiliki ayah yang sangat mencintainya, walau kini tidak tahu di mana muaranya.

Usai belajar, ketika semua murid berlarian kembali ke tenda pengungsian, Saogo masih duduk di tempat semula.

126