Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/142

Halaman ini tervalidasi

“Sok suci Kau, Mal. Jangan suka mencari kesalahan orang lain. Ibu Kau sendiri gimana, hah?” Aku mulai emosi dengan ceramahnya, terlintas di pikiranku gaya bicaranya Bu Yen, kepala sekolah yang telah menyelewengkan beasiswaku dulu.

“Ah, itu kan ibuku. Lagian aku tidak ikut mencuri seperti Kau,” ejeknya lagi.

“Sekali lagi Kau bilang mencuri, kupukul Kau!”

“Aku kan hanya memperingatkanmu kawan...”

“Cukup, aku muak mendengar ceramahmu, ibu kau saja tak bisa kau nasihati, sementara orang lain Kau urusi. Pulang saja kau sekarang, sebelum akbenar-benar berubah pikiran,” ancamku sambil mengacung-acungkan kayu yang tersandar di samping rumahku.

Kemal hanya terdiam, lalu pergi.

***.

“Otak udang, setan alas, balataun. Uang buat kitab suci saja dikorup, ah, benar-benar keterlaluan tikus-tikus parlemen itu!” ucap Pak Bidin di lepau Mak Uning.

Aku hanya diam saja mendengar sumpah serapah Pak Bidin. Aku sama sekali tidak tertarik dengan apa yang diberitakan di televisi, tidak begitu aneh di telingaku berita penggelapan kitab suci. Karena dalam keseharian hidupku mencuri, meskipun masih kelas bawah, pencuri pinang.

“Pen, Kau kelas berapa sekarang?” Tanya Pak Bidin mengejutkanku. “Kelas dua belas, semester lima,” jawabku. “Kau masih SMA kan?” “Iya, Pak”

“Nanti kalau Kau jadi pemimpin bangsa ini, Kau potong saja tangan pencuri-pencuri itu. Dan yang paling penting itu, Kau hidupkan lagi tujuh kata pada sila pertama Piagam Jakarta dulu.”

130