Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/143

Halaman ini tervalidasi

“Mana bisa, Pak. Kita tidak bisa memaksakan kehendak pada orang lain, itu pelanggaran HAM.”

“Cuih, mual perutku mendengar kata-kata itu, HAM itu hanyalah alat untuk berbuat kesewenangan, dan HAM itu jauh di bawah hak Tuhan. Tuhan lebih berkuasa pada kita. Tetapi kebanyakan manusia tidak mau mengakui adanya hak Tuhan untuk mengatur kehidupan kita,” jelas Pak Bidin padaku. Meskipun ia hanyalah tamatan SMA, pengalamannya cukup banyak dibanding kebanyakan orang.

Aku kagum pada pada pota pikir Pak Bidin, ia selalu memandang sesuatu dari sisi yang berbeda. Tapi aku sedikit waspada juga, karena banyak orang-orang yang memandang Pak Bidin sebagai pemikir ekstrem.

“Setiap Senin Kau upacara bendera, Pen?” Tanya pak Bidin padaku.

“Iya, Pak.”

“Buat apa Kau upacara, hormat bendera dan ritual-ritual lainnya?”

“Memupuk rasa nasionalisme kita, Pak. Dan juga memperingati jasa-jasa pahlawan-pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini.”

“Taukah Kau, apa yang diinginkan para pahlawan kita?”

Aku tidak langsung menjawab pertanyaan sederhana itu, takut salah dan malas rasanya. Apalagi Pak Bidin dianggap berpaham ekstrem oleh orang-orang kampung. Seandainya saja Pak Bidin tinggal di kota, mungkin sudah ditembak Densus 88 atau ditangkap polisi dengan tuduhan teroris.

“Yang pahlawan kita inginkan adalah tegaknya din Islam, bukan hormat bendera, itu syirik.” Pak Bidin menjawab pertanyaannya sendiri.

“Kita kan hanya memperingati saja, Pak. Jika kita memang benar-benar mencintai negara.”

“Mencintai negara? Betapa banyak orang-orang berdasi

131