Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/144

Halaman ini tervalidasi

itu yang mengaku kalau mereka mencintai Indonesia, tetapi apakah mereka betul-betul cinta negara? Tidak Pen, mereka tidak mencintai negara, tapi mencintai uang rakyat, tikus parlemen itu tidak pernah puas, sekalipun bumi Indonesia untuk mereka," Pak Bidin menggebu-gebu dalam pidatonya.

Aku hanya diam.

"Sudahlah, Pak. Jangan Kau tanamkan ajaran Kau pada anak orang, nanti kalau ia ditanya gurunya kenapa ia tak hormat bendera, Kau juga yang disalahkan." Mak Uning menyelingi pembicaraan kami.

Sebenarnya aku tidak betah berlama-lama duduk di lepau, tapi aku merasa segan juga pada Pak Bidin, kupertahankan saja pantatku di kursi kayu Mak Uning.

"Kalau kamu jadi pemimpin, ubahlah semua sistem di negara kita yang sudah terlalu bobrok. Ganti dengan Syariat, maka negara ini akan adil, makmur, dan sejahtera. Dan mulailah mengubah hal-hal tidak baik, misalnya dari dirimu sendiri, keluarga, atau teman-teman terdekatmu.

Terbayang di pikiranku wajah ibu yang kerjanya setiap pagi mencari pinang di ladang orang, hal yang harus kuubah semestinya. Ah, Pak Bidin ini mungkin tahu kerja ibuku setiap hari, tapi ia tidak langsung menuju inti permasalahan. Ia malah berceloteh tentang politik yang sama sekali tidak menarik perhatianku.

"O ya, kalau kau ada waktu, datang ke rumah Bapak ya, kita diskusi-diskusi."

"Hmm, oke Pak, kapan saya boleh datang?" aku langsung saja menerima ajakan Pak Bidin.

Pak Bidin suka nongkrong di lepau, tapi pengetahuannya sangat banyak, terutama dalam masalah agama.

***

132