Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/147

Halaman ini tervalidasi

"Masa bodoh, Mal," jawabku. Aku tidak mau seorangpun mencampuri urusanku.

"Itu urusanku, tidak usah Kau ikut campur, aku bisa menanganinya sendiri. Lagian aku hanyalah mengambil barang yang tidak berguna lagi." Gerutuku sambi memegangi telingaku yang mulai terasa panas. Aku pernah dinasihati ibu kalau mencuri barang tak berguna itu tidak apa-apa, setelah aku berusaha mengatakan hal yang yang disampaikan Pak Bidin sebelumnya.

"Tapi kau tetap saja mencuri namanya. Kawan, apa Kau mau jadi orang yang selalu rugi? Kau mesti buat perubahan, Pen. Kau tidak akan mampu merubah ekonomimu. Karena doamu tertolak."

Aku tercenung lama, terpikir olehku kenapa hidupku selalu miskin. Ah, tapi kenapa banyak juga orang yang maling tapi bergelimang dengan harta. Pertanyaan yang tidak butuh jawaban.

"Tuhan sedang mengujimu, Pen. Seharusnya Kau bersabar dan berusaha mencari rezeki yang halal." Kemal menepuk pundakku. Amarah yang tadi menggelora, berangsur-angsur hilang.

Tergesa-gesa kupergi ke sumur mengambil wuduk, mungkin dengan berwuduk hatiku menjadi tenang. Lama kuberpikir, kubasahkan kepalaku, telinga panasku, namun pikiranku tambah tak menentu.

Dua ekor katak berpesta ria dalam sumur tanah Pak Bidin, mereka saling berciuman, mungkin mereka tidak tahu kalau aku sedang bersedih. Setelah kujatuhkan ember ke sumur lagi, katak yang sedang kasmaran tadi pun bubar.

Hampir saja aku menceburkan diri ke sumur itu, untuk bercerita pada katak-katak sumur. Ingin kukatakan padanya, apakah Tuhan membenciku karena aku dan ibuku sering mengambil pinang orang, tapi aku kan hanya mengambil barang yang tak berguna lagi, pinang yang telah jatuh dan dibiarkan saja oleh pemiliknya.

135