Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/149

Halaman ini tervalidasi

Selesai salat subuh kutarik lagi selimutku, tulang-tulangku terasa remuk karena seharian kemarin aku bekerja sebagai kuli bangunan di SD dekat rumahku.

"Pen, bangun, sudah jam berapa ini, masih tidur juga Kau," teriak ibu padaku.

"Iya, iya. Hmphhh, ouah,” aku menganga lebar. Lalu kutarik lagi selimutku.

Sontak aku tersadar dari tidurku. Aku tahu kalau ibu begitu marah melihat orang yang tidur pagi hari. Kupaksakan tubuhku untuk duduk.

"Pen, Kau belah pinang-pinang yang di pojok itu, setelah itu Kau bawa pinang kering itu ke tempat Ajo Mamang."

"Siap, Bu."

Aku sedang berusaha mencari kesempatan untuk berbicara dengan ibu, tapi kutak tahu harus mulai dari mana.

"Pen, kenapa hidup kita tak pernah berubah ya? Dari tahun ke tahun itu-itu saja hidup kita, padahal ibu sering berdoa pada Tuhan.”

"Mungkin doa ibu tertolak," jawabku. Spontan saja kata-kata itu meluncur dari mulutku, aku agak menyesali juga perkataanku barusan, takut kalau ibu merasa tersinggung. Seharusnya aku bilang kalau doa ibu belum. dikabulkan.

"Kau tahu, Pen. Apa yang menyebabkan doa kita ditolak?" Tanya ibu padaku.

"Misalnya, kita sering makan dari uang haram, harta haram. Mencuri juga, Bu. Termasuk mencari pinang ini, ini bukanlah hak milik kita kan?" Aku langsung saja mengutarakan pendapatku pada ibu, sengaja kubiarkan ibu berpikir sejenak untuk memahami kata-kataku tadi.

ibu mengernyitkan dahi, lalu berkata, "Kalau kita berhenti mencari pinang, lalu kita makan dengan uang dari mana? Uang sekolahmu juga dari pinang itu Nak," ucap ibu sedih.

"Kita harus cari jalan keluar, Bu. Ibu bisa menanyakan

137