Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/162

Halaman ini tervalidasi

karena keluargaku tinggal di ibukota provinsi yang jauhnya sekitar lima jam perjalanan dari ibukota kabupaten tempat anduang tinggal, tapi aku selalu merasa dekat dengan anduang.

Anduang tinggal sendiri setelah kakekku meninggal saat usiaku lima tahun. Dulu, kata ibu, anduang tinggal ditemani Etek Tanti, adik bungsu ibuku. Tapi setelah Etek Tanti menikah dan harus tinggal di luar kota, anduang tetap memaksa tinggal di rumah panggung kecil kami. Meski ketiga anaknya memaksa agar anduang ikut salah satu dari mereka, tapi anduang bersikeras tinggal, sebab kata beliau begitu banyak kenangan dengan rumah panggung kecil itu dan juga kampung kecilnya yang tak bisa beliau tinggalkan. Tapi aku tahu, yang terutama tak bisa ditinggalkannya adalah surau kecil di seberang rumah kami. Anduang bilang, dulu surau itu dibangun oleh kakekku bersama penduduk kampung lain. Sejak dulu anduang selalu suka menghabiskan waktunya di surau itu. Anduang jarang salat di rumah, lima waktu selalu dipenuhinya di surau itu. Sering anduang tertidur di surau setelah salat isya, baru pulang ke rumah lagi setelah menjalankan salat subuh di surau. Jadilah penduduk sekitar menyebut surau itu dengan istilah surau anduang, sebab memang anduanglah yang paling banyak menghabiskan waktu di sana. Anduang bahkan punya duplikat kunci surau, dan lebih sering anduang yang membuka surau itu untuk salat subuh ketimbang penjaga surau itu sendiri. Maka dengan semua alasan itu, jadilah anduang tetap tinggal di rumah panggung kecil kami dengan menyetujui syarat ibu agar anduang tinggal ditemani seorang anak gadis tetangga dekat yang bisa membantu-bantu beliau. Tujuh tahun lamanya anduang tinggal berdua saja dengang Uni Ida, anak gadis tetangga itu. Beberapa kali setahun aku, ibu dan ayah berkunjung ke rumah anduang, menjenguknya. Sampai saat aku tamat SMP, saat itu usiaku 15, aku bilang pada ibu bahwa aku ingin melanjutkan SMA

150