Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/163

Halaman ini tervalidasi

di kampung halaman saja, sekaligus menemani anduang. Ibu setuju, anduangpun senang dengan keputusanku. Maka jadilah sejak dua tahun lalu aku tinggal di rumah panggung kecil kami. Awalnya bertiga dengan Uni Ida. Namun setahun lalu Uni Ida menikah dan pindah, maka tinggallah aku berdua dengan anduang.

***

Masih dua jam lagi. Oh Nona Waktu, jangan mempermainkanku. Aku merasa ini teramat lambat. Aku ingin cepat sampai dan memeluk labuhan rinduku itu kini. Tapi roda bus masih berputar konstan, menyeretku juga dalam putaran kenangan yang tiba-tiba saja berlayangan di benak.

***

"Bangun, Dayana!"

"Uh, Anduang!" Aku terkaget bangun seperti biasanya akibat percikan air anduang. Anduang memang punya kebiasaan menyebalkan. Setiap pagi paling tidak setengah jam sebelum subuh, beliau akan selalu membawa segelas air ke kamar tidurku, membangunkanku dengan memercikan air ke mukaku. Meski lama kelamaan aku terbiasa, tapi tetap saja rasanya menyebalkan. Kenapa pula harus membangunkan dengan percikan air, aku kan bisa bangun dengan baik-baik? Saat aku mengadu pada ibu, ibu bilang bahwa itu memang kebiasaan anduang sejak dahulu pada anak-anak gadisnya. Aku merengut karena baru tahu, sebab waktu aku kecil dan pulang hanya beberapa kali setahun untuk mudik, anduang tak pernah melakukannya. Tentu saja, aku waktu itu tidur dengan ibu dan ayah, anduang tentu segan masuk ke kamar. Tapi ibu bilang maklumi saja. Maka aku mencoba terbiasa.

151