Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/166

Halaman ini tervalidasi

ini keterlaluan sekali.

"Kenapa kamu marah sekali, Na? Aku saja gak marah," Giana merespon diamku. Aku sedang menemani Giana menunggu angkutan menuju ibukota provinsi, sudah dua hari Giana menginap di rumah.

"Gimana gak marah coba? Kalau anduang cuma melakukannya padaku sih sudah biasa, tapi padamu?” Aku tetap marah. Giana tertawa.

Begini asal muasal rasa kesalku. Jadi, di akhir minggu yang panjang ini Giana, teman lama satu SMP saat di ibukota provinsi, menginap di rumah. Sebenarnya aku sudah mengantisipasi kalau-kalau anduang akan melakukan ritual paginya, memercikan air, tidak hanya padaku, tapi pada Giana juga. Aku sudah meminta anduang agar selama dua hari ini tidak melakukannya, tapi waktu aku bicara beliau diam saja. Hari pertama tak ada aksi percik air anduang, sebab aku sukses mengajak Giana bahkan sebelum anduang bangun. Tapi hari kedua, kami sukses terlambat bangun, setidaknya terlambat di mata anduang, setelah seharian lelah bermain. Jadilah pagi itu anduang kembali dengan menyebalkannya membawa segelas air dan memercikkannya ke mukaku dan Giana. Itupun dibonusi pula oleh sebuah kalimat menyebalkan, "Anak Gadis kok bangun lambat! Gak dapat suami baru tahu rasa!" Muka Giana memerah waktu diperlakukan seperti itu. Aku kesal pada anduang. Keluarga Giana kaya, rumahnya bagus. Giana mau menginap di rumah panggung lama ini saja sudah bagus. Tapi anduang malah bersikap begitu. Meski Giana berkali-kali bilang tak apa, tapi tetap saja aku malu pada Giana. Dan aku kesal pada anduang. Apa salahnya membangunkan baik-baik? Kami bukan anak-anak lagi yang malas sekali bangun pagi. Kali ini anduang memang benar-benar keterlaluan.

***

154