Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/167

Halaman ini tervalidasi

Kokok ayam pagi mulai bersahutan. Aku malas sekali bangun, meski tahu resikonya. Ini sebentuk protes, sudah dua hari sejak anduang membuatku malu pada Giana. Aku kesal setengah mati pada anduang. Rumah ini rumah panggung dari kayu, maka jelas sekali terdengar langkah kaki anduang, mendekati kamarku. Aku tetap tak bergeming. Suara pintu berderit, terbuka.

"Bangun, Dayana!"

Aku masih diam.

"Dayana!" Anduang menguncang-guncangkan badanku. Aku tetap tak bergerak. Aku sedang marah pada anduang. Anduang terus saja mengguncang tubuhku. Anduang mememang keras kepala. Dan aku mewarisi wataknya. Maka beginilah jadinya.

"Dayana! Bangun!" Nada anduang meninggi, percikan air terasa mengenai mukaku. Aku diam.

Satu kali lagi percikan air. Kekesalanku bukannya padam, malah menjadi akibatnya. Tiga kali percikan air. Tiba-tiba sepersekian detik, tanpa anduang duga aku bangun. Sepersekian detik pula dan entah bagaimana aku menepis gelas air yang dipegang anduang. Gelas itu jatuh berguling-guling, airnya ruah merembesi karpet. Tak kuacuhkan ekspresi terkejut yang sangat dari anduang, aku malah menatap benci anduang lalu secepat mungkin berjalan ke pancuran. Anduang marah? Aku tak peduli lagi. Sebab tepat setelah subuh pagi itu, sebelum anduang kembali ke rumah, aku telah duduk dengan hati kesal di atas angkutan umum menuju ibukota provinsi. Aku lari.

"Sungguh, aku suka anduangmu, Na," ucap Giana. Aku diam. Kali ini bukannya tak acuh, tapi perasaanku berkecamuk.

Yah, inilah aksi pelarianku. Tak tanggung-tanggung, aku naik angkutan umum lima jam perjalanan dalam rangka 'pelarian'. Aku kabur ke rumah Giana, bukan ke rumah ayah-ibu, sebab aku takut dimarahi. Aku tahu, Anduang belum

155