Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/169

Halaman ini tervalidasi

mama-papa Giana tampak dengan dingin memapah nenek Giana masuk ke dalam rumah. Barusan seorang anak muda mengantarnya pulang, nenek Giana mabuk! Aku tak dapat berkata-kata ketika melihatnya. Nenek Giana, usianya lima puluhan, lebih muda sedikit dari anduang, pulang dengan keadaan mabuk. Busananya, astaga! Busana yang lebih pantas dipakai oleh anak-anak seumuranku. Ia meracau saja tak jelas sejak masuk tadi. Make up tebalnya tampak sedikit luntur. Yang lebih mengiris hatiku, sebelum pergi anak muda yang tadi mengantar nenek Giana masih sempat berkata, "Dia belum bayar." Lututku benar-benar hilang tenaga saat melihat papa Giana memberikan sejumlah uang dengan ekspresi datar.

"Sudah biasa, Na." Giana berkata pelan, mengusik diamku lebih tepatnya terkejutku. Giana memandangku dengan pandangan terluka.

"Kamu mungkin bilang aku punya segalanya, Na. Tapi sayangnya aku gak punya harta berharga seperti milikmu. Seorang nenek yang baik dan menjadi teladanmu. Percayalah, Na, aku jauh lebih suka terbangun pagi buta dengan percikan air, menyuruhku salat, daripada terbangun karena hal seperti ini. Percikan air anduangmu, Na, itu wujud cintanya." Giana memandang sedih papa dan mamanya yang sedang sibuk mengurus neneknya muntah-muntah.

"Aku tak bohong, Na! Sungguh, aku suka anduangmu,"”

Aku sudah tak kuasa, tangisku pecah.

***

Aku rindu anduang. Setelah pagi yang memerih hati di rumah Giana, aku pamit. Tak langsung menuju rumah anduang, tapi aku singgah sebentar di rumah ayah-ibu. Menjelaskan sedikit pada ibu, ibu hanya tersenyum sabar. Ia hanya berkata lembut sebelum aku berangkat ke rumah anduang sehabis magrib itu, "Ibu tahu suatu saat kamu akan

157