Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/170

Halaman ini tervalidasi

berontak dengan kebiasaan anduangmu, Na. Tapi kamu akan ngerti kalau percikan air pagi buta itu adalah percikan cinta anduang padamu," ibu mengusap rambutku lembut. Mataku menganak sungai. Aku memang sudah mengerti, Bu.

Maka di sinilah aku kini. Di atas bus angkutan umum yang serasa berjalan terlalu santai. Kulirik keluar jendela, sudah hampir tengah malam, tapi tak apa, aku sudah sampai. Aku turun tepat di depan rumah panggung kayu kecil kami. Satu jam lagi tengah malam, kulirik surau seberang rumah. Gelap. Berarti anduang sudah pulang ke rumah. Aku masuk ke rumah, aku memang punya kunci cadangan sendiri. Kudapati anduang sedang tertidur di atas kursi goyangnya. Anduang adalah orang yang paling disiplin terhadap jadwal. Setelah salat isya usai, anduang akan langsung menuju kamar tidurnya, istirahat untuk kemudian bangun lagi tengah malam nanti. Tapi sekarang, anduang masih duduk di kursi goyangnya, mengabaikan jadwalnya. Aku tahu, anduang sedang menungguku. Aku mendekat pelan, anduang membuka matanya. Setelah lima jam yang terasa lambat, ingin sekali rasanya aku memeluk anduang, mengucap maaf yang deras padanya. Tapi entah mengapa tubuhku kaku. Anduang memandangku dengan tatapan yang tidak kumengerti. Bukan, bukan tatapan marah. Tapi tatapan lega, bahagia, ah entahlah, sulit kujelaskan. Setelah diam cukup lama, akhirnya aku mengambil tangan anduang, menciumnya. Begitu saja, tanpa terucap maaf. Barangkali hatiku masih butuh sedikit waktu untuk benar-benar berbaikan dengan anduang. Mungkin besok kami akan bicara.

***

Aku bangun dengan masih sedikit linglung setelah perjalanan jauh. Azan subuh berkumandang. Tunggu dulu!

158