Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/171

Halaman ini tervalidasi

Bagaimana mungkin aku bangun saat azan, kenapa anduang tak membangunkanku. Anduang, masih marahkah? Aku berjalan ke ruang tengah, kudapati anduang masih tertidur di kursi goyangnya. Jadi semalaman anduang tidur di sini? Bukan kebiasaan anduang, tapi mungkin anduang terlanjur lelah karena menungguiku pulang. Aku mendekati anduang, ingin membangunkannya. Aku megguncang tubuh anduang pelan,

"Anduang, sudah subuh," tapi anduang tak bergeming. Kucoba lagi, anduang tetap tak bergerak. Aku tergugu.

"Anduang, bangun," suaraku tercekat. Oh Tuhan, jangan sampai...

"Assalamualaikum," salam dari penjaga surau menyentakku. Aku membuka pintu. Penjaga surau menyempatkan diri ke rumah setelah azan karena anduang tak jua datang. Ia bertanya dimana anduang, kutunjuk kursi goyang di tengah rumah. Ia tanya anduang kenapa belum bangun juga, aku sudah tak dapat berkata-kata.

***

Oh, Nona Waktu. Lagi, kenapa kau menari lambat sekali, setelah sebelumnya kau jadikan masa seolah berbilang kejap untukku.

Aku terpekur menatap nyeri semua prosesi pemakaman anduang. Yah, anduang pergi, meninggalkanku yang bahkan tak sempat bilang maaf. Semalam, waktu berlalu cepat sekali, anduang pergi saja. Semalam aku menunggu besok untuk bicara dengan anduang, tapi ternyata sudah tak ada lagi besok itu. Aku mengikuti semua prosesi itu memang, memandikan anduang, mengafaninya, menyalatkan. Tapi semua berjalan seolah lambat sekarang. Sedari malam tadi aku hanya diam, dan orang-orang cukup mengerti untuk tidak mengusikku.

Oh Nona Waktu, mengapa kau dengan mudahnya

159