Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/176

Halaman ini tervalidasi

Dengan senyum khasnya abangku mendekati aku.

"Bukan aku yang hebat, tapi si Bintiak yang larinya kencang."

Abangku duduk di sampingku.

"Bagaimana aksinya si Bintiak? Perfect kan?"

"Perfect? Tapi lebih perfect si Bintiak dari pada kamu."

"Ya..., jangan bandingkan aku sama si Bintiak."

"Maaf-maaf, tapi jangan emosi bicaranya."

"Baiklah..."

Aku melihat Bang Rahmat dan Bang Agus tengah asyik memberi Bintiak makan.

Sepertinya Bintiak memang sedang lapar karena habis perpacu di sawah besar. Tidak beberapa lama kemudian panitia menyorakkan bahwa pacu pada race kedua akan segera dimulai.

"Bintiak, sudah dulu makannya. Kamu akan segera aku bawa ke tengah sawah."

Bang Rahmat berhenti memberi si Bintiak makan.

"Bintiak nanti kalau kamu berlari kencang, maka kita akan masuk babak semi final." Bang Agus berkata dengan mimik wajah berharap.

Sesampainya Bintiak di tengah sawah, finalis lainya. tengah menyiapkan sapi-sapinya untuk berpacu kembali. Sirine tanda dimulai sudah terdengar.

Teeettt....

"Ayo Bintiak...ayo Bintiak..."

Bang Agus bersorak sorai untuk menyemangati si Bintiak, tapi ia tidak memikirkan apakah si Bintiak mengerti ucapannya atau tidak. Andaikan si Bintiak mengerti dengan ucapan Bang Agus pasti ia akan lebih semangat lagi.

Tiba-tiba saja, gubrakkk...

Semua penonton berlari menuju sumber suara itu. Pertandingan itu dihentikan sejenak, namun sialnya sedikit lagi si Bintiak menuju garis finis, tapi malah dihentikan.

Berbondong-bondong menuju ke sana. Perasaanku

164