Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/178

Halaman ini tervalidasi

"Astaufirullah, si Bintiak bagaimana ya?"

"Kalau begitu kita kembali saja ke sawah besar."

"Ya, kita kembali saja ke sawah besar."

"Ya, mari kita berangkat."

Sesampainya di tempat tujuan, perlombaan sudah berakhir dan penonton sudah sepi. Kemudian Bang Rahmat dan Bang Agus menuju meja juri.

"Pak bagaimana ini? saya tadi sedang menolong orang yang kecelakaan."

"Ya tidak bisa, kalian sudah didiskualifikasi."

"Tidak bisa begitu Pak, kalau kami tahu kejadiannya akan seperti ini, kami tidak akan menolong orang tadi." Bang Agus berbicara dengan nada kesal.

"Gus tidak boleh berbicara seperti itu, kalau kita menolong orang itu harus ikhlas."

"Bukannya aku tidak ikhlas, tapi jurinya tidak adil."

"Saya bukannya tidak adil, tapi memang seperti itu keputusannya."

"Bapak memang tidak berperikemanusiaan."

"Kamu jangan berbicara kasar dengan saya ya."

"Saya tidak berbicara kasar, tapi Bapak yang memancing emosi saya."

Kemudian terdengar telepon juri tersebut berdering.

"Halo, ya kenapa?"

Tanpa diduga orang yang kecelakaan tadi adalah anak dari juri tersebut, setelah berunding, maka pacuan akan diulang kembali pada keesokan harinya.

Bang Agus masih mengusap-usap punggung si Bintiak yang kelihatan lelah sekali selesai berpacu di tengah sawah besar. Sorak sorai dan hiruk pikuk penonton tidak menjadi perhatian Bang Agus, yang jels si Bintiak untuk turun pada race kedua ini harus menang.

"Kalau kamu menang pada race kedua ini Bintiak, kamu akan diikutkan pada babak final nanti dan kalau kamu masing menang, aku akan memboyong piala walikota."

166