Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/179

Halaman ini tervalidasi

Bang Agus memandang si Bintiak dengan senyum seolah-olah Bintiak mengerti dengan ucapannya.

Aku sudah dua hari diajak abangku untuk menyaksikan dia berpacu di sawah besar. Bang Rahmat selalu mengajakku bila dia jadi joki pacu sapi. Katanya aku menjadi spirit kemenangannya. Padahal abangku baru dua kali ikut jadi joki pacu sapi. Biasanya dia hanya jadi penonton.

"Mat, bagaimana kalau kita menggunakan jampi-jampi juga mirip sapinya Pak Madun?"

"Eh, jaga ucapanmu! Kalau yang namanya kemenangan bukan di tangan dukun, tapi tergantung pada si Bintiak, makanya si Bintiak harus di kasih dopping. Belikan dia telur itik tiga buah supaya staminanya bagus.

Aku duduk dengan cemas di tribun sambil memainkan hp abangku. Bang Agus membawa si Bintiak masuk kedalam sawah sambil mengusap-usap kepalanya.

"Tar... katutar..."

Si Bintiak menyepak, hampir saja Bang Agus terkena tanduk si Bintiak.

"Aduh...," Agus menjerit kesakitan.

Aku kaget melihat Bang Agus terpental karenaa menahan tali si Bintiak.

"Gus, apa kamu tidak apa-apa? Apa ada yang sakit?"

"Tidak apa-apa Mat, tidak ada yang sakit."

Aku rasa si Bintiak kaget, mungkin karena Bang Agus menarik paksa si Bintiak.

Aku melihat Bang Rahmat tengah bersiap untuk lomba pacu sapi ini. Bang Rahmat tampak tegang sekali, wajahnya pucat, tangannya dingin mengigil.

"Cepat...cepat....cepat...," suara penonton menyoraki sapi-sapi yang tengah berlari kencang di dalam lumpur pekat. Suasana hiruk pikuk. Mata penonton tak lepas dari sapi-sapi pacuan. Kulihat semua penonton tersenyum seakan hilang semua beban pikirannya.

Melihat semua itu hatiku merasa senang, seakan

167