Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/180

Halaman ini tervalidasi

rumput-rumput jerami kering dan pepohonan rindang memberi dukungan pada si Bintiak.

"Cepat Bintiak... cepat...," Bang Agus menyoraki dari pematang sawah.

Ketika di tengah si Bintiak kembali ke belakangdan keluar dari arena. Mungkin sekarang Bintiak enggan untuk berpacu.

"Gus, bagaimana ini? Sapi larinya ke depan, eee...si Bintiak kembali ke belakang."

"Sabarlah Mat, mungkin ini belum rezekinya si Bintiak, hari esok kita coba lagi."

Aku melihat setiap hari Bang Rahmat dan Bang Agus merawat si Bintiak dengan penuh kasih sayang.

Sekarang si Bintiak akan bertanding lagi, mencoba untuk kembali berlari di sawah besar dan semuanya sudah di persiapkan dengan matang.

Lawan terberat si Bintiak adalah sapi Pak Madun. Melihat persiapan itu aku merasa yakin si Bintiak pasti akan memenangkan pacu sapi ini.

"Hia..hia..hia...," Bang Rahmat memukul punggung Bintiak supaya Bintiak berlari cepat hingga finis.

Dan ternyata.

"Yeeee...si Bintiak menang...

Karena kegirangan Bang Agus melompat-lompat, tanpa ia sadari di belakangnya ada empang yang berfungsi untuk pengairan sawah. Gubrak. Bang Agus terjatuh, namun ia tetap tertawa saking senangnya.

Karena si Bintiak menang, Pak Madun menjadi iri. Padahal uangnya sudah banyak habis untuk pergi ke dukun dan Pak Madun mengatakan bahwa Bang Rahmat dan Bang Agus berbuat curang. Ia menyoraki.

"Hai semua...si Rahmat mainnya tidak jujur!"

Semua penonton memalingkan matanya kepada Bang Rahmat dan si Bintiak. Aku merasa kasihan mengapa kemenangan si Bintiak dibilang curang.

168