Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/184

Halaman ini tervalidasi

ayah adalah seorang jurnalis di salah satu surat kabar di sini, pola bahasanya menurun kepadaku. Dan ibu adalah seorang wanita bijaksana. Beliau mengajarkanku bagaimana menjadi seorang remaja muslimah yang dituntut oleh Alquran. Dengan seluruh kasih sayangnya, mereka membesarkan anaknya tanpa membedakan aku dengan Kak Rusdy, kakakku satu-satunya. Selisih umur kami cukup jauh, empat tahun, tapi hal itu tidak membuat kami merasa begitu berbeda. Kami sering bermain dan bercanda bersama, walau sekarang Kak Rusdy sibuk dengan kuliahnya, dia selalu menyempatkan dirinya untuk bermain denganku.

Nada handphone tanda pesan masuk membuyarkan lamunanku yang sempat melayang.

„Vi, besok pagi aku dan teman-teman kerumahmu. Besok berangkat jam berapa, Vi?“ Segera kuinput nomor Alif di layar handphone. Tak lama teleponku tersambung.

„Assalamualaikum!“

„Waalaikumsalam.“

„Belum tidur, Vi?“

„Belum, Lif! Kamu sendiri belum tidur?“

„Hmm. Aku baru pulang dari rumah Hadi...“

„Tengah malam gini?“

„Tadi ban motorku bocor, dan terpaksa pergi ke bengkel“

„Itu tandanya tidak boleh keluar malam! Besok aku berangkat pukul 10.“

„Iya, Ummi! Besok pagi kami akan ke rumahmu.“ Dengan nada mengeledek nasihatku.

„Hmm, ya deh, Lif! Evi istirahat dulu ya?“

„Ya, Vi! Assalamualaikum!“

„Waalaikumsalam!“

Teleponku terputus. Alif adalah sahabatku dari kecil. Bersama teman yang lain sering pergi sekolah dan mengaji bersama. Kami banyak mengukir cerita yang mungkin takkan terulang lagi.

172