Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/189

Halaman ini tervalidasi

terletak tak jauh dari loket. Kami benar-benar menyantap makanan kali ini, entah karena aku akan meninggalkan mereka, atau mungkin karena jam memang sudah menunjukkan waktu untuk makan siang. Sudah hampir jam setengah dua di arloji favoritku. Arloji itu adalah hadiah. Arloji itu adalah pemberian Alif saat ulang tahunku bulan lalu. Arloji biru dengan gambar boneka di dasarnya. Terlihat sangat manis, karena Alif benar-benar tahu selera cewek. Saat ulangtahun Lia pun dia membelikan sebuah tas kecil yang sangat bagus.

Sudah penuh lambung ini oleh makan siang yang memang terasa enak. Kami kembali menuju loket. Setelah menunggu sekian lama, terdengar panggilan kepada penumpang jurusan Bukittinggi untuk segera naik ke atas bus, spontan aku beranjak dan menyalami kedua orangtuaku, memeluk mereka dengan penuh kasih sayang. Dari pelukannya terasa ada bisikan tentang pesan mereka agar aku menjaga diri nantinya. Kemudian ku pandangi Kak Rusdy, dia tersenyum dengan senyuman khasnya, namun kutahan air mataku agar tidak jatuh. Perasaan itu semakin kuat ketika Lia memelukku sambil terisak.

„Sudahlah, kita masih bisa komunikasi, kan?“ Aku menghibur Lia.

Lia hanya diam dan menghapus air matanya. Kusalami Hadi dan Alif yang berdiri di samping Lia. Melihat mereka, seakan menahan kakiku melangkah untuk meninggalkan mereka. Namun segera kutepis bayangan itu, dan berpikir realita. Kami sudah sepakat untuk tetap kompak satu sama lain, walaupun nantinya kami akan berpencar. Hadi mengukir senyum, namun kulihat matanya seperti menahan tangis, seperti aku saat ini. Kutarik nafasku dalam-dalam saat kutatap Alif. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan, karena memang pribadi Alif yang sulit ditebak.

„Ayo segera, naik! Nanti ketinggalan bus.“ Ayah memukul pundakku sehingga aku merasa sedikit terkejut.

„Baiklah, Yah. Evi berangkat dulu ya, semuanya.

177