Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/41

Halaman ini tervalidasi

“Astaga, maaf Pak Yudha. Soalnya tadi...” Ibu Randhi merasa bersalah.

“Ah, tidak apa-apa, Bu. Mana Bapak? Saya juga mau menyapanya,” potong Pak Yudha.

“Bapak sedang pertemuan dengan pemuka masyarakat yang lain. Mari saya antar,” jawab Ibu.

“Tidak apa-apa, Bu?” Tanya Randhi ragu.

“Tak apa-apa. Kepulanganmulah yang paling ayahmu tunggu-tunggu. Pasti tidak apa-apa,” jawab Ibu yakin. Mereka tiba di sebuah ruangan yang lebar. Ibu mengetuk pintu.

“Masuk,” terdengar suara ayah. Ibu masuk terlebih dahulu.

“Astaga, Ibu! Bukankah sudah saya bilang? Kalau tidak ada perlu,” kata-kata Ayah terhenti. Ibu menyingkir sedikit agar Randhi bisa masuk.

“Randhi? Kau sudah pulang?” Tanya Ayah tidak percaya.

“Ya, Ayah.”

“Hahaha. Astaga, Randhi, putraku Randhi sudah kembali,” Ayah tertawa gembira melihat kepulangan anaknya. Tak dipedulikannya pemuka-pemuka masyarakat yang ada di ruangan. Tak lama kemudian, suasana ramai karena semua mau berbicara dengan Randhi.

“Ayah, tadi sedang membahas apa? Tentang hutan yang ditebang itukah?” Tanya Randhi.

“Jadi kamu sudah dengar? Ya benar, kami sedang membahas itu,” jawab ayahnya

“Boleh aku ikut dalam pertemuan ini?” Pinta Randhi. Ayahnya ragu untuk menjawab, mengingat anaknya baru pulang dan pastinya sudah lelah.

“Pak, biarkan saja dia ikut. Anak muda sekarang, apalagi dari kota, pasti memunyai ide-ide yang bagus dan juga koneksi yang luas. Pastinya itu akan sangat membantu,” saran seorang ibu.

“Hah, baiklah. Kamu boleh ikut, Randhi.” Tak lama

29