Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/77

Halaman ini tervalidasi

"Jadilah lilin-lilin itu Anakku, yang tidak pernah habis sebesar apapun api membakarmu. Jangan Kau menjadi kertas, meskipun kecil api yang membakar, Kau akan tetap sirna sebagai abu."

Amak memandangku lekat-lekat. Kedua tangannya kini berada di kedua pipiku. Kemudian kami bertiga berangkulan dalam tawa bercampur air mata.

Ah..., tapi itu dulu kawan. Sebelum kenangan-kenangan itu sempat kubakar menjadi masa lalu.

*** 

Hujan baru saja reda. Tinggal sisa-sisa gerimis kecil, dan bau lembab udara menempel sebentuk bulatan kristal di kaca jendela koridor. Kulirik arloji, jam menunjukkan angka 16:30 Wib. Dua jam lebih aku terkurung hujan deras, sendirian di bangku koridor sekolah. Kuhentikan suara harmonika yang menyayat. Kutatap langit. Senja perlahan menyelimuti kota. Masih bewarna keruh, bukan keemasan. Masihkah langit menyimpan bubuk hujan, yang siap turun kapan saja. Tanpa terus berpikir,segera kukejar waktu. Jalanan terasa licin dan berlenyah. Roda sepeda ontel ini menjerit setiap kali ku percepat putarannya. Usia yang sudah seperempat abad membuat jari-jarinya mulai mengerut. Sebagian bautnya sudah longgar, bahkan ada yang lepas. Warisan dari kakek kepada abah. Dari abah diwariskan kepadaku. Kelak, jika masih panjang usianya akan kuwariskan lagi kepada anak-anak dan cucuku. Agar pewarisnya selalu dikenang sepanjang masa.

Di seberang jalan, anak-anak telah ramai pergi mengaji. Wan Nipah melambai dari jenjang surau. "Ndak ke surau Kau Ing?"

"Yo, sabanta lai."

Wan Nipah masuk ke dalam surau. Biasanya dia akan mengaji lima belas menit sebelum azan dikumandangkan.

65