Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/78

Halaman ini tervalidasi

Senja begitu suram. Begitu buram. Tapi aku bisa menangkap cahaya dari mata amak,melihat anak semata wayangnya ini pulang agak terlambat.

"Mak sudah siapkan air hangat untuk mandi, lekaslah."

"Iya Mak." Aku mencium tangan amak yang berbau asap. Berarti amak baru saja dari dapur. Dari balik serambi telingaku menangkap alunan melodi khas minang dari saluang abah. Menikmati senja dengan irama saluang sambil memandangi hamparan sawah dan gunung-gunung yang berdiri megah adalah kenikmatan tersendiri bagi abah.

*** 

"Sudahkah Kau beri makan anjing-anjing itu Sum?"

Wanita yang acap kali dipanggil Sum itu terperanjat. Baki yang berisi piring-piring kotor di tangannya hampir jatuh, pecah berserakan. Kemudian bergegas ke belakang. Dengan wajah gugup dibawanya dua mangkok makanan anjing dan ia masukkan ke kandangnya. Mak hampir terjerembab menaiki tangga ketika anjing-anjing itu dengan kerasnya menyalak. Marah karena jatah makannya terlambat pagi ini.

Kadang, aku kasihan melihat amak yang diam-diam membekam air mata di balik kulit-kulit tuanya yang mulai keriputan. Seolah kami menjadi kambing hitam dari PHK yang dialami abah lima tahun silam. Di-PHK dari perusahan marmer milik belanda di Aceh, yang mengalami kerugian besar akibat tsunami. Seolah menjadi meriam hitam bagi abah. Acap kali meledak, menggoncang seisi rumah. Kamilah korban yang menelan abu dari ledakan amarah yang sungguh dahsyat.

Kehidupan kami berubah 180 derajat. Rumah di Aceh dijual. Rumah berukuran 6x4 meter inilah hasil dari penjualan itu. Dan dua petak sawah yang yang kini masih tergadai di tangan Wak Ramlan. Rumah yang tidak secara penuh ditutupi atap. Bila hujan deras mengguyur, kami terpaksa

66