Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/82

Halaman ini tervalidasi

"Bah anjing-anjing itu sepertinya sudah kenyang diberi makan. Sedangkan diri abah sendiri dari tadi sore belum makan," ucap amak getir. Dengan wajah sayu ia berdiri di depan pintu. Angin sepoi mengibas rambut amak yang mulai memutih satu persatu. Abah memalingkan muka. Mengangkat dua mangkok kotor bekas makanan anjing.

"Sudahlah! Tidak usah hiraukan abah. Kalian sajalah yang makan, abah sudah kenyang."

Matanya tengadah menatap langit. Mencari arti kegelapan.

"Tapi Bah, dari tadi siang kan."

"Sudah, sudah..., abah sudah kenyang. Kau jangan membantahku sum."

Garis kekesalan mulai tampak dari ucapan abah yang memotong kata-kata amak. Amak terdiam. Ia mengerti, kalau terus mengajak abah hanya sebuah kebodohan yang akan meledakkan meriam hitam di hati abah. Hati amak bergemuruh. Hujan di matanya ingin segera turun, namun dibekamnya kuat-kuat. Amak kembali ke meja makan dengan tangis yang tertahan. Kami pun makan tanpa abah. Ada rasa iba menari-nari disetiap suapan nasi kemulutku.

***

Lebih dari seminggu, semenjak usahanya gagal menawari mengisi saluang pada acara alek anak Haji Ramlan abah lebih banyak mengurung diri. Hilir mudik tidak karuan. Kadang-kadang menyendiri di serambi. Pikirannya menerawang entah kemana. Ke puncak Gunung Sago yang menjulang di udara, atau pada kemuning padi yang menunggu musim panen tiba. Abah tidak pernah keluar rumah,kecuali ada teman yang mengajak pergi berburu. Begitulah, betapapun besar masalah yang dihadapi, ajakan berburu adalah angin segar yang kembali mengencangkan urat sarafnya. Kalau aku coba bertanya kenapa abah sangat

70