lebih terang. Sekian lamanja kau soedah membantoe pada saja, membawa hiboeran dalam penghidoepan saja jang menjendiri ini. Djikalau kau pergi saja seolah-olah dalam kesepian seperti disedia kala. Saja minta dengan sangat djanganlah kau kembali ke Tjigading. Hidoeplah disini sebagai anak saja sendiri”.
Tati lebih tersedoe-sedoe karena terharoe dari kebaikan hati toean Abdul Sidik, begitoepoen bibi Ikah matanja berlinang air, tidak sangka bahwa ini orang toea jang kadang-kadang nampak keras adatnja, sebenarnja berhati beloedroe.
„Bagaimana Tati, apakah kau akan loeloeskan keinginan saja?”, tanja toean Abdul Sidik sekarang dengan soeara lemah dan lembek.
Bibi Ikah menghampiri Tati, dan minta perkenan moendoer pada toean Abdul Sidik goena berdamai penawaran moelia jang baroe mereka dengarkan itoe.
„Bagaimana Tati kau poenja pikiran?”, tanja bibi Ikah.
Tati tidak lekas mendjawab ketjoeali oesap-oesap matanja jang teroes sadja masih basah.
„Bibi, saja pikir lebih baik saja poelang sadja”.
„Kalau bibi berpendapatan lain. Ke kampoeng kita maloe pada kau poenja teman-teman dan harapan mengetahoei jang benar tentang Amir adalah sedikit sekali. Lebih baik djangan kau tinggalkan ini tempat, terima penawaran toean Abdul Sidik jang keloear dari hati toeloes dan soetji itoe. Bagaimana Tati, maoe boekan ?”
54