Halaman:Aspek-aspek arkeologi Indonesia No. 7.pdf/15

Halaman ini tervalidasi

kehidupan dari abad ke 7 yang terutama terdiri dari keramik asing. Dari hasil itu ternyata bahwa tidak ada pecahan keramik yang tua, karena ditemukan, baik di Bukit Seguntang maupun di Air Bersih. Geding Sarangwati hanya pecahan keramik Ming dan abad ke 15 dan ke 16.28)

Sebuah ekskavasi percobaan yang dilakukan oleh beberapa anggauta team itu pada tahun 1973 di Muara Takus (Riau) berhasil yang sama. Kali ini tidak ada juga pecahan keramik yang lebih tua daripada abad ke 15. 29) Hasil yang sama diperoleh lagi oleh sebuah team yang dikirim oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional pada tahun 1976, karena hanya pecahan porselen Ming yang ditemukan lagi.30

Apakah hasil-hasil ini membuktikan bahwa Sriwijaya tidak terletak di Palembang atau Muara Takus? Ataukah ada suatu sebab sehingga tidak ada sisa-sisa benda yang seharusnya ada pada sebuah situs yang sudah berabad-abad lamanya didiami manusia? Ataukah penggalian harusnya dilakukan pada tempat-tempat lain, seperti misalnya di tepi sungai Musi? Ataukah pencarian benda harus dilakukan di dalam lumpur atau di dalam air, oleh karena kota dan desa yang terletak di tepi sungai mudah terkena banjir. Satu banjir saja dapat memusnahkan sawah-sawah dan desa-desa seperti masih sering terjadi di Sumatra. Ataukah kita belum dapat mengharapkan adanya sisa-sisa porselen Cina pada abad ke 7 karena masih terlalu pagi dan belum ada porselen yang diekspor (trade pottery) ke Nanyang (Asia Tenggara).*

Kami mengajukan beberapa usul: mungkin seribu orang musafir yang ada di Sriwijaya menurut I-tsing bukan orang Cina, melainkan kebanyakan orang Indonesia sendiri. Mereka tidak memakai porselen Cina karena mereka apalagi sebagai biarawan harus memakai bahan-bahan seadanya: ialah daun-daunan, bambu, kayu, batok kelapa, dan labu. 31) Pada masa itu orang belum membuat stupa-stupa dari batu atau batu bata, karena orang dapat memakai kayu yang begitu banyak ditemukan di dalam hutan hujan yang tropis. Kuil-kuil dan biara-biara dibuat dari kayu dan beratap ijuk seperti di Bali. "Sel-sel" untuk para biarawan terbuat dari kayu dan beratap ijuk juga dan berbentuk rumah panggung. Rumah panggung yang sederhana itu masih dipakai dalam beberapa pondok pesantren di Sumatra. Ada sebuah pondok pesantren di Purba Baru, Tapanuli Selatan, yang kebetulan team survey kami liwati pada bulan Juli tahun 1978. Dua ribu santri penghuninya. Setiap dua orang santri menghuni satu pondok yang sederhana untuk tidur, belajar, masak dan makan. Sebuah pondok pesantren yang serupa kami lihat pada tahun 1975 di Padang Lawas.32) Di dekat Biaro Bahal I ada pondok-pondok yang memenuhi satu komplek yang luas.33)

  • Setelah karangan ini ditulis pada tahun 1978 ternyata pada tahun 1978, 1980 dan 1982 ditemukan banyak pecahan porselen dari masa sebelum abad ke - 10 M di sekitar Talang Kikim di kaki Bukit Seguntang.

11