Halaman:Aspek-aspek arkeologi Indonesia No. 7.pdf/25

Halaman ini tervalidasi
ruh Sulawesi berabad - abad lamanya. Kami bertanya apakah toponim yang dieja oleh Orang-orang Cina sebagai P’o-Ni,yang diperkirakan harus dibaca sebagai Brunei di Kalimantan Barat— laut, mungkin Bone di Sulawesi Selatan. Juga deskripsi negara P’o-Ni cocok dengan keadaan di Bone. Misalnya: karena tidak ada tembikar mereka memasak dalam bambu dan daun palem; mereka mengirim surat yang terdiri dari daun kepada Kaisar Cina (Krom (1931)., h. 236. Raja memiliki armada yang ada 100 kapal perangnya. Krom (1931), h. 305. Mereka maju dalam hal berhitung dan akuntansi (Krom (h. 399).
Keterangan ini cocok dengan kenyataan bahwa: Orang Bugis sudah lama, malah berabad-abat lamanya menjadi pelaut, mereka memiliki aksara sendiri, dan naskah-naskah mereka disebut ”lontara”, artinya daun tal (semacam pohon palem). Akuntansi tak mengherankan dari bangsa yang berniaga dan pelaut. Masak dalam bambu dan daun masih dilakukan di Sulawesi.
Di dalam karangan Grace Wong (1978) tentang porselen biru-putih ada urutan nama bandar-bandar yang disinggahi kapal-kapal Cina ketika sudah ada jalur laut sebelah Timur:
ialah: San-yu, Ma-ri, Hai- dan (di Philippina), Bo-ni dan Mao-luo-ju (Maluku) dan di dalam berita lain: San-dao, MaTi-lu, Su-lu (di Philippina), kemudian: Dong-chong-gu-la (Tanjungpura?) atau Donggala?) Wan , nian-gang (P’o-ni), Wen-lao-gu (Maluku) dan Wen- dan (Banda?).
Kesan bahwa P’o-ni atau Bone diperkuat karena letaknya antara Sulu di Philippina Selatan dan Maluku.
17). Van Heekeren: (1958), h. 88.
18). Van Heekeren (1958) , h. 80.
19). Van Heekeren (1958) , h. 84. Noorduyn (1955) h. 92. Hadimuljono(1972) h.7. menyebutkan nama anumerta seorang Bone, ialah "La Tenrirawe Bongkangngeri Gucinna (yang tidur dalam gucinya. Dari Sejarah Wajo (1963) dan Sejarah Goa (1967) oleh A . A . Patunru.
20). Hadimuljono h. 12. Ia menyebutkan juga beberapa cara pemakaian yang lain lagi.
21). Nagarakertagama, bait 14:4, 5. Pigeaud 1960) I, h. 12. Hubungan dengan pulau Jawa mungkin sudah ada lebih dahulu, ialah pada masa raja-raja Hindu dan Buddha di Jawa Tengah (abad ke 8- abad ke 10) Orang dapat kesan bahwa dua inskripsi yang berbahasa Melayu kuno diterbitkan oleh raja-raja yang berdarah ”asing” yang berlum tentu

ber-

21