Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/107

Halaman ini tervalidasi

pung karya-karya lukisnya.

"Setidaknya, saya bisa menabung untuk biaya kuliah saya nanti," ujarnya ketika kutanya.

"Memangnya, Doni mau kuliah di mana?" tanyaku lebih lanjut.

"Saya ingin seperti Raden Saleh," Doni tersenyum.

"Saya ingin kuliah di IKJ jurusan Seni Lukis. Bisa melukis apa saja yang saya mau, bahkan....." ia berhenti, matanya menerawang jauh.

"Bahkan melukis ibu, jika saya bisa," dia mengucapkan kata-kata itu seolah-olah hal itu sangat mustahil dilakukannya.

"Kenapa tidak mencobanya dari sekarang?" tanyaku hati-hati.

"Saya tahu, saya masih bisa merasakan kasih sayang ibu, untuk mengobati kerinduan saya. Tapi, saya tidak tahu siapa ibu dan di mana ia sekarang. Bahkan, saya tidak tahu siapa diri saya sendiri." Dia menengadah, mencoba menahan aliran air matanya.

Dalam hati aku berpikir, “Aku bahkan lebih lemah dari Doni. Waktu Ina pergi, aku bahkan tidak sanggup melihat dunia walaupun sebenarnya kuakui akulah yang menyuruh Ina pergi. Aku meninggalkan lukisan-lukisanku, membuangnya hingga kemudian Harry, temanku, merawatnya dan memasukkannya ke museum.

"Ah, sudahlah," kembali Doni buka suara, "Hidup di sini menyenangkan, kok, di sini saya punya banyak orang tua yang menyayangi saya, juga saudara-saudara yang mau berbagi dengan saya."

Aku tersenyum, "Tak satu pun yang dapat kau ingat?”

"Saya cuma ingat, saya pernah punya keluarga, punya ibu yang menyayangi saya."

"Punya ayah juga, tentunya?"

"Mungkin, tapi saya tidak yakin," pernyataannya membuatku heran.

"Kenapa?"

"Saya sendiri tidak tahu, saya hanya merasa ayah saya tidak menyayangi saya, mungkin juga tidak menyayangi ibu," Doni tersenyum pahit.

95