Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/112

Halaman ini tervalidasi

"Bibik sakit? Kalau sakit tidak usah bekerja, Bik," ujarku lagi.

Bik Siti terlihat makin gugup. Segera kuperbaiki kata-kataku.

Maksud saya, kalau sakit, Bik Siti istirahat saja. Untuk sementara, kita makan catering saja."

"Maafkan saya, Tuan," Bik Siti mencoba tersenyum.

Aku jadi ingat ekspresi cemas Bik Siti ketika aku hendak ke tempat Doni kemarin sore.

"Lebih baik tidak kutanyakan sekarang," pikirku mengingat Bik Siti baru saja didera perasaan gugup yang amat sangat.

Akhirnya, kutinggalkan Bik Siti, setelah yakin dia tidak sakit.

Malamnya aku tidak dapat memejamkan mata. Berbaga masalah terus saja menggangguku. Terlebih, sikap Bik Siti yang tidak biasanya.

Pukul 2.00 dini hari, aku dikejutkan oleh dering telepon.

"Halo, assalamualaikum," kataku.

"Maaf, Pak, ini dari kepolisian. Kami baru saja menemukakan seorang anak muda korban penganiayaan. Dalam dompet korban, kami menemukan nama dan alamat Bapak. Kami harap Bapak dapat memberikan keterangan."

"Ten...tentu, Pak," aku tergagap.

"Doni dianiaya," pikirku langsung, rasanya sungguh tidak masuk akal. Anak sebaik itu, siapa yang akan memusuhinya?

Segera kuganti pakaianku dengan tergesa. Kuambil kunci motor dan setengah berlari aku ke garasi. Tapi, di ruang tengah aku tertegun. Bik Siti berdiri dengan raut muka cemas.

"Ada apa, Bik?" tanyaku sepintas lalu.

"Tuan mau ke mana?" tanyanya.

"Ke kantor polisi," jawabku tanpa memperhatikannya.

Bergegas aku keluar dan melaju dengan astreaku. Sebenarnya, terpikir kembali olehku untuk bertanya pada Bik Siti, tentu saja tentang sikapnya yang aneh itu. Tapi, aku harus ke kantor polisi sekarang.

Setelah memberikan keterangan seadanya pada pihak kepolisian, aku menengok Doni ke rumah sakit. Hampir akti berteriak histeris melihat keadaannya.

100