Doni terbaring di ICU dengan hampir seluruh tubuh terbalut selang infus. Aku belum diizinkan menemuinya. Keadaannya sangat kritis. Hanya keajaiban Tuhan yang dapat menyelamatkannya. Setidaknya, itulah yang dapat aku simpulkan dari pembicaraan dengan dokter.
Tiba-tiba pikiran itu muncul. Bik Siti..., bayangan itu begitu saja terlintas di benakku.
"Ini pasti ada hubungannya dengan sikap aneh Bik Siti akhir-akhir ini," pikiranku tanpa alasan. Setelah Tanto dan rekannya datang, bergegas aku pulang. Setiba di rumah, kudapati Bik Siti menangis di ruang tengah. Padahal, masih terlalu pagi, pukul 4.30.
"Bik," sapaku hati-hati. "Kenapa, Bik?"
"T..Tuan," Bik Siti terkejut bukan main karena tidak menyadari kedatanganku. Tentu saja karena motor kumatikan saat menuruni jalan landai menuju rumahku.
"Kenapa, Bik," ulangku.
"Ma-maafkan saya, Tuan," Bik Siti menangis makin keras. Aku makin bingung, tapi mulai menduga-duga. Kutunggu sampai tangis Bik Siti mereda.
"Tangkap saja saya, Tuan. Sayalah yang bersalah," ujarnya terbata-bata.
"Apa maksud Bibik, siapa yang akan menangkap Bik Siti dan kenapa?”
"Doni.....," tangis Bik Siti makin keras.
"Doni celaka gara-gara saya."
"Jadi, Bibik tahu?" tanyaku heran. Bik Siti mengangguk lemah.
"Saya mendengar pembicaraan Tuan di telepon tadi..." Kenapa Bik Siti tidak mengangkatnya?"
"Jadi, Bik Siti mendengar telepon berbunyi pukul 2 tadi?
"Saya takut, tuan."
"Takut? Kenapa? Memangnya Bik Siti salah apa?"
"Sayalah yang telah mencelakakan Doni. Tapi sungguh, Tuan, saya melakukannya karena terpaksa," Bik Siti mulai bisa menguasai emosinya."
"Sebaiknya, Bik Siti cerita dari awal saja. Biar lebih jelas, siapa yang memaksa Bibik?"
"Ray... Raymond," lirih suara Bik Siti. Tapi, itu sudah