saja merah karena air asin. "Belum tidur, Put?" suara ibu menyapa lembut malam itu. Tangannya menyentuh pundakku. "Sudah pukul 11, Nak..., tidurlah, nanti kamu sakit...” Dari tadi aku hanya menyibukkan diri dengan menulis surat, mencari amplop, dan menunggu seseorang yang akan membawa suratku. Aku hanya menggeleng. "Nanti saja, Bu. Dia belum datang," lemah sekali suaraku terdengar. Serak dan tertekan amat berat. Sebenarnya, badanku sudah menggigil sejak tadi akibat menangis. Karena itu membuat diriku lemah dan lunglai, seperti ibu-ibu yang kematian suami. Mulai sejak salat Isya sampai pukul 11, kata ibu, aku hanya menyibukkan diri menulis surat. Dan, setiap kata-kata yang kutulis selalu mengeluarkan air mata. Asin! Memang, terlalu lama aku menangis. Lagian, sekarang bukanlah saatnya bagiku untuk menangis karena sekarang kan anak sekolah libur dan baru saja kemarin penerimaan rapornya. Oh, ya! Kemarin aku dapat peringkat dua. Tapi bagiku lain, hal itu tidak menggembirakan. "Dia? Siapa maksudmu, Put?" tanya Ibu sembari mengambil surat yang kutulis sejak tadi. "Ibu Andhini, Bu," jawabku tanpa mengedipkan mata sedikit pun padanya. "Ibu Andhini? Bukankah...." "Iya, ia memang sudah meninggal dua hari yang lalu," jawabku sambil menyerobot. "Karena itulah, aku menunggunya," ulangku. Ibuku terkejut mendengar kata-kataku. Air-air garam yang tersisa kini perlahan muncul. Jatuh satu per satu. Tangannya menutup mulut dan dadanya. "Mengapa kau begini, Put? Kenapa kau jadi sampai begini, Nak?" tanya ibuku prihatin. Tentu saja aku tidak gila. Malah, tambah waras. Buktinya, tadi aku bisa menulis surat. Itu tandanya aku waras, kan? Kalau orang gila, kan tidak bisa menulis surat. He..he...he.. itu kan menurutku. Memang, sih, yang aku nantikan itu adalah orang yang sudah meninggal. Karena aku memang harus menunggunya. Dulu, saking dekatnya aku sama Bu
Andhini, sampai-sampai dia bilang, "Nanti, kalau Ibu sudah
107