dangan terkejut.
“Kok, tahu.”
“Aku selalu memperhatikan apa yang kamu makan di kafe Sekolah ataupun di warung samping sekolah. Kamu selalu makan kacang tojin.”
“Ja ..., jadi?” aku tergagap.
“Ya, aku selama ini selalu memperhatikan kamu.” ,
Mulai saat itu kami jadi akrab. Entah siapa yang memulai. Setiap saat kami selalu bersama. Ketika jam istirahat tiba, aku selalu menyinggahinya ke kelas sebelum ke kafe. Pulang Sekolah pun, kalau tidak ada keperluan yang sangat penting, aku selalu mengantarkannya pulang. Di rumah pun begitu. Di saat-saat senggang aku belajar dengannya. Aku mencoba menjemput ketertinggalanku selama ini. Nasihat dan motivasi yang diberikan Yosi mampu mengubah diriku sehingga aku Yang sekarang berbeda 180 derajat dibandingkan yang dulu. Siswa rajin, patuh, penurut, santun, dan berprestasi mulai disampirkan di pundakku.
Walaupun sangat akrab, tak pernah sekali pun kanmi mempermasalahkan bagaimana hubungan kami. Keakraban kami adalah keakraban dua orang sahabat yang tulus. Sebenarnya, pernah juga terlintas di kepalaku untuk mempertanyakan status kebersamaan kami. Namun, aku tak Punya keberanian untuk mengutarakannya. Kharisma dan Wibawa Yosi yang begitu besar memupus keberanianku untuk menyampaikannya.
“Biarlah waktu yang menentukannya,” pikirku.
Waktu ternyata berkata lain.
Siang itu ketika sedang makan siang sepulang sekolah, tiba-tiba telepon berdering.
“Assalamualaikum, Tomi di sini, Dan siapa ini?” sapa ku Setelah mengangkat gagang telepon. "
“Tom, ini mama. Yosi dalam keadaan kritis, Tom...."kudengar suara cemas di balik gagang telepon. Kutahu itu Suara mamanya Yosi.
“Bagaimana dengan Yosi, Ma?” Tak ada sahutan. Yang terdengar hanyalah suara isakan tangis.
“Ma..... ma, jawab ma,” aku berteriak-teriak di gagang telepon. Namun, tetap tak ada jawaban. Kuletakkan gagang