Siang ini udara cerah. Anak-anak bermain kelereng di halamanku dan membuat kebisingan karena mereka bersorak keras sekali saat mereka berhasil memasukkan kelereng ke dalam lubang. Burung-burung hinggap di kepalaku dan bersenda gurau sehingga kepalaku geli. Haji Amir sibuk dengan tugas kesehariannya, yakni mengepel dan mengelap kaca-kaca yang terdapat pada tubuhku hingga bersih. Aku menikmati segalanya dengan senang hati, sampai aku mendengar bunyi derum mobil yang mendekatiku. Anggapanku tak salah, mobil-mobil berkilat itu masuk dan berhenti di halamanku dan membuat anak-anak menghentikan permainan. Tak dinyana, Haji Amir keluar dan keningnya berkerut pertanda keheranannya.
Tak lama kemudian, orang-orang berdasi keluar dari mobil-mobil yang berkilat itu. Salah satunya membawa tas berwarna hitam dan memandang tubuhku dengan serius, diiringi anggukan-anggukan kecil, Lalu, mereka mendekati Haji Amir dan menjabat tangannya sambil tersenyum. Orang itu tampak cukup sopan ketika berbicara dengan Haji Amir, tak seperti penduduk desa ini umumnya. Setelah berbicara cukup lama, pria berdasi itu membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa helai kertas yang aku sendiri tak tahu itu kertas apa, untuk dibaca Haji Amir. Beliau menerima surat itu dan membacanya dengan saksama. Entah kenapa, Haji Amir berbicara sedikit keras sehingga membuat pria berdasi itu dan aku terkejut.
“Tanah ini tak pernah saya gadaikan, apalagi saya jual!” bentak Haji Amir, yang kelihatannya sudah kehilangan kesabaran.
“Tapi, Pak, surat ini membuktikan bahwa Anda pernah menggadaikan tanah ini kepada Tuan Senjoyo,” jawab Si pria berdasi. “Dan, tanda tangan Bapak terdapat disini,” lanjutnya.
Digadaikan? Pertanyaan itu muncul saja di benakku. Apa yang terjadi? Aku makin tak mengerti ketika melihat Haji Amir ingin mengusir pria berdasi itu.
“Tanda tangan apa? Saya tak pemah menandatangani surat perjanjian ini!” elak Haji Amir tegas.
10