bapak-bapak sangat menikmati mengisap rokok mereka. Aku masih sempat melihat Haji Amir yang duduk sedih tanpa ada Seorang pun yang mempedulikannya hingga malam pembukaan tiba. Haji Amir membuka acara dan menyampaikan pidatonya. Suara tuanya yang sangat kukenal itu bergema mantap dan keras karena menggunakan mikrofon. Perkataannya diiringi tepukan di sana sini, sampai ketika beliau mulai menyinggung masalah tebusan diriku. Suaranya menampakkan pengharapan yang sangat agar para penduduk mau membantunya, Penduduk menimpalinya, tapi jauh dari yang diharapkan, malah berkata, “Buat apa, Pak Haji? Mengapa kami harus memberikan bantuan untuk menebus musala jelek itu?” ejek salah seorang dari mereka.
“Benar, Pak Haji! Biarkanlah musala itu dirubuhkan. Kan, kalau rubuh, desa kita ini mempunyai Japangan kosong yang bisa digunakan sebagai lapangan sepak bola! Nanti Pak Haji, deh, yang jadi manajernya,” timpal yang lain dan disambut cengengesan penduduk lain.
“Ya Allah, mengapa kalian berpikiran begitu? Musala itu satu-satunya tempat ibadah kita yang masih tersisa?” geram Haji Amir.
"Kan, tidak ada salahnya, kalau kita salat di rumah saja?”
“Tahukah kalian? Jika musala ini dirubuhkan, pemilik barunya akan mendirikan diskotek. Kita sama-sama tahu, itu tempat maksiat yang dilarang agama untuk mendirikannya,” jelas Haji Amir.
“Wah, bukannya itu hal yang bagus. Para pemuda dan pemudi desa ini benar-benar bosan dengan layar tancap. Mereka seharusnya mendapatkan hiburan yang baru. Kan menari-nari diiringi musik itu tidak salah? Setuju, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu?” kata pemuda di sudut tenda. Yang diikuti dengan anggukan penduduk lain.
“Ya Allah, sungguh Allah telah menutup mata, telinga, dan hati kalian,” ucap Haji Amir yang tampak sudah mulai menangis karena mendengar ucapan penduduk. Langsung saja beliar mengucapkan salam dan turun dari mimbar. Dan, tak seorang pun mencegahnya pergi.
Haji Amir berjalan dengan tenang ke arahku sambil mengurut-nrut dadanya. Kemudian beliau membuka pintuku
13