Hari demi hari berlalu, tapi Tek Emi yang ditunggu-btunggu Karen tidak pernah datang lagi. Kain-kain yang harus dicuci dan diseterika sudah menumpuk. Jadi, terpaksa seluruh anggota keluarga bergotong royong menyelesaikannya. Sudah sebulan Tek Emi tidak juga datang-datang. Semua orang merasa heran dan cemas. Gajinya juga tidak diambil-ambil. Karen semakin kesal padanya. Karen menganggap Tek Emi itu senang mempermainkan perasaan orang. Ternyata, Tek Emi itu senang membuat orang merasa cemas. Sampai pada suatu hari, Mama menyuruh Rena, kakak Karen, mencari tahu tentang Tek Emi. Tapi, Rena tidak mempunyai waktu karena jadwal kuliahnya yang padat, sementara Riki, kakak Karen yang nomor dua, sibuk dengan kegiatan ekstrakurikulernya. Tanpa disuruh, Karen menawarkan diri untuk mencari Tek Emi.
Pencarian Karen dimulai ke tempat majikan Tek Emi yang lain. Dari situ Karen mendapat jawaban, Tek Emi juga sudah tama tidak datang ke tempat itu. Berbekal alamat yang didapatkannya dari si Ibu, Karen berjalan mencari rumah Tek Emi. Rumah itu akhirnya ditemukan Karen. Sebuah rumah kecil beratapkan rumbia yang sangat sederhana sekali. Seorang gadis seusia Karen duduk di tangga depan rumah itu. Ia mengenakan gaun terusan berwarna pink milik Karen. Karen tidak sempat mempunyai pikiran untuk marah kepada gadis kecil yang tengah memakai bajunya, Gadis itu mengangguk lemah ketika Karen menanyakan apakah itu rumah Tek Emi.
“Ibuku sudah hampir satu bulan ini sakit, tidak bisa bekerja. Kamu pasti Karen anak majikan ibuku. Persis, seperti yang digambarkan ibuku. Cantik, baik, dan ada tahi lalat di pipi sehelah kanan. Ibuku sering menceritakan tentang kebaikan keluargamu kepadaku.
Karen tidak bisa berkata apa-apa dan menurut saja ketika gadis itu memegang tangannya dan membawanya masuk menemui ibunya. Di atas lantai yang beralaskan kasur tipis, Tek Eri terbaring lemah. Tubuhnya terlihat kurus dan sangat pucat. Dalam keadaan yang seperti itu, Tek Emi berkata pada Karen,
21