“Tolong sampaikan maaf Tek Emi kepada mama Karen karena Tek Emi tidak bisa datang. Tek Emi tidak bisa jalan karena pinggang Tek Emi sakit.”
Karen yang mendengar perkataan Tek Emi masih tidak bisa berbicara. Dalam dirinya terdapat rasa bersalah yang sangat besar. Mengapa waktu itu ia memperbanyak kain yang menyebabkan Tek Emi menjadi sakit begitu parah. Mengapa waktu itu ia merasa marah karena gaunnya diberikan kepada anak Tek Emi. Mengapa waktu itu Karen menjadi kesal ketika waktu mama diberikan hanya untuk mendengarkan keluhan Tek Emi tentang sakitnya. Dalam hatinya Karen berkata dan berjanji, aku akan segera berlari pulang untuk menemui mama, Semoga Tek Emi bisa bertahan menungguku pulang menjemput mama dan segera mengantarkannya ke rumah sakit.
Karen kemudian pamit kepada Tek Emi dan anaknya. Sebelum pulang, Karen meminta secarik kertas dan pena. Ia menuliskan alamatnya di situ.
“Ini alamatku kalau kamu butuh sesuatu,” ucapnya sambil memberikan alamat itu pada Isil.
Begitu keluar dari pintu, Karen segera berlari pulang menemui mamanya. Ia tidak mempedulikan keringat yang sudah membasahi bajunya. Tapi, begitu sampai di rumah, apa yang ia harapkan tidak terjadi. Di rumah tidak ada siapa pun. Karen mengetahuinya karena Pak Haji memberikan kunci rumah begitu ia sampai di sana.
Saat itu sudah hampir malam, tapi papa dan mamanya belum juga pulang. Ini tidak seperti biasanya karena biasanya pada jam-jam itu, keluarganya selalu berkumpul bersama untuk makan malam. Mengingat soal makan, tiba-tiba perut Karen menjadi lapar. Karen menuju meja makan dan segera makan dengan lahap. Sempat terpikir dalam benaknya, apakah Tek Emi dan anak-anaknya sudah makan. Karen semakin merasa kasihan dan bersalah. Tek Emi yang sudah tidak mempunyai suami itu harus mencari nafkah sendirian.
Ketika Karen asyik menikmati makanannya, terdengar ketukan dari pintu rumahnya.
“Mungkinkah itu Mama,” katanya.
Makin lama ketukan itu makin keras dan kencang.
22